20.5.11

/Cadangan/Otentik/Gravitasi/Enantiodromia/

oleh Anas Hidayat*

komentar atas Tampilan Arsitektur

dibatasi oleh ruang,

seekor katak di dalam sumur tidak akan pernah tahu apa itu samudera

dibatasi oleh waktu,

seekor serangga di musim panas tidak akan pernah tahu apa itu salju


tao the cing

Membaca tulisan Josef Prijotomo tentang tampilan arsitektur, ada sebuah pertanyaan yang membuncah: mengapa tampilan arsitektur yang meng-Indonesia masih belum menjadi “nafas” bagi arsitek-arsitek kita? Nafas di sini bukan sekedar menghirup-keluarkan angin dari paru-paru, tetapi kaitannya dengan hidup dan kehidupan. Mengapa darah-daging dan tulang-sungsum para arsitek kita, juga hati, otak, rasa dan nalarnya bisa dicekoki oleh arsitektur yang meng-Global dengan sukses? Jika memang demikian, kondisinya sudah bisa dikatakan kritis. Dan kalau sudah kritis, obatnya bukan lagi balsem atau minyak angin, tapi harus tablet dosis tinggi. Jangan lagi hanya dihimbau atau disindir, harus dijembreng matanya agar mengerti dan paham bahwa berarsitektur itu sebuah perjuangan, bukan asal corat-coret dan dibangun, lalu selesai.

Agaknya, mau dan ke-mau-an saja masih belum cukup untuk menjadi pendorong munculnya tampang yang meng-Indonesia. Mungkin banyak yang mau, banyak yang berniat, banyak yang berencana, tapi tidak tahu harus bagaimana melakukannya? Menurut hemat saya, kadang-kadang dalam keadaan tidak tahu dan gamang, yang menjadi pertanyaan adalah: berani atau tidak? Bahkan bisa ditambahi: wani nekad ta gak? (berani nekad atau tidak?). Banyak momen-momen penting dalam sejarah yang diawali dari nekad, seperti kemerdekaan Republik Indonesia dan Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kalau dalam arsitektur, munculnya Candi Borobudur dan Prambanan, munculnya Tongkonan atau Omonifolasara, atau munculnya arsitektur Jengki, tak lepas dari ke-nekad-an. Dalam cerita-cerita rakyat lebih dramatis lagi, Bandung Bondowoso dan Sangkuriang berani bikin seribu candi dalam semalam, nekadnya edan-edanan.

/Cadangan/

Jika dilihat dari kacamata Martin Heidegger, arsitek-arsitek kita mayoritas berada dalam kondisi Cadangan. Apa yang dimaksud dengan Cadangan? bisa diterjemahkan sebagai kondisi yang tak memungkinkan orang berproses menemukan jatidiri. Kondisi Cadangan itu muncul karena mereka tidak berada dalam situasi dan kondisi yang tepat. Ibaratnya seperti singa yang berada di dalam kerangkeng. Wujudnya singa, dengan rambut yang berjumbai menyeramkan, masih memiliki jejak sebagai raja hutan. Tapi di dalam kerangkeng? Tak lebih dari badut. Anak-anak kecil tertawa-tawa di depannya, suara aumannya yang memecah kesunyian tak membikin ngeri sama sekali. Jika ingin makan tak perlu susah-susah berburu, para pawang memberinya daging segar setiap hari. Jika ingin kawin, betina disediakan di dalam kandang.

Demikian juga kondisi mayoritas arsitek-arsitek kita, seperti singa dalam kerangkeng. Kerangkengnya adalah prinsip-prinsip arsitektur Barat, pengetahuan arsitektur Global, yang tinggal ambil aja dari buku-buku, dari referensi-referensi. Tak perlu susah-susah mencari tampilan, tampilan arsitektur yang meng-Global seperti daging segar yang siap santap. Tapi apa jadinya? Hanya menjadi arsitek tontonan di dalam kerangkeng yang dibangun sendiri.

Wowww, tampilan arsitektur yang meng-Global hanya tampilan tontonan. Lha wong tinggal santap. Jika Mohammad Nanda Widyarta menyatakan bahwa mahasiswa arsitektur/calon arsitek terlalu terpaku pada hal yang teknis dan kurang mengetahui tentang yang non-teknis, itu betul adanya. Seekor singa cadangan hanya tahu teknis makan, hanya tahu makan daging yang banyak dan kenyang. Seekor singa cadangan tidak pernah belajar hal-hal non-teknis, seperti: di musim kemarau, di mana banyak mangsa bisa ditemukan? Hutan yang seperti apa yang paling ideal untuk berburu mangsa?

Arsitek cadangan hanya melatih mata untuk memilih tampilan dan melatih otak untuk berpikir mana tampilan yang baik. Namun mereka tidak melatih hati untuk memper-hati-kan, tidak melatih rasa untuk me-rasa-kan, tidak melatih nalar untuk ber-nalar. Mengapa demikian? Karena dikurung oleh jeruji-jeruji yang memenjarakan dirinya. Dibatasi oleh kerangkeng, seorang arsitek cadangan tidak pernah tahu apa itu arsitektur yang sesungguhnya.

/Otentik/

Lain dengan cadangan, keberadaan Otentik itu seperti singa yang berada di habitatnya, di hutan. Di sana, dia benar-benar menjadi raja yang sesungguhnya. Tidak seperti singa dalam kerangkeng yang menjadi badut tontonan, singa di hutan akan membikin ngeri orang yang bertemu dengannya, mendengar aumannya saja pasti orang akan lari terkencing-kencing. Konsekuensinya, setiap hari dia harus berburu mangsa untuk makan, harus memperhatikan musim dan tahu pergerakan mangsa, harus bertarung dengan sesama singa untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan kehidupannya. Singa otentik adalah singa yang menemukan dirinya sebagai singa, bukan sebagai badut.

Demikian juga dengan arsitek Indonesia yang otentik, yaitu arsitek Indonesia yang tak lelah untuk meng-Indonesia, memunculkan tampilan yang meng-Indonesia. Karena habitatnya di Indonesia, sudah selayaknya melatih seluruh kemampuannya untuk berproses menemukan ke-Indonesia-an. Bukan hanya dengan mata dan otak, tapi juga dengan hati, rasa dan nalar. Jika Iswanto Hartono menyatakan bahwa alam yang tropik-lembab mempengaruhi tampilan, memang demikian. Dan bukan hanya itu, termasuk kondisi kepulauan, banyaknya gunung berapi, tongkat kayu yang bisa jadi tanaman, semua itu berpengaruh pada tampilan arsitektur.

Singa otentik pasti cerdas, karena selalu berlatih untuk hidup dalam kondisi keras dan penuh persaingan di habitatnya. Demikian pula arsitek otentik, akan selalu cerdas untuk menelisik sekitar, memperhatikan apa kaitan keberadaannya dengan bumi tempat dia dilahirkan dan langit yang melingkupinya. Belajar tentang hal teknis dan non-teknis dalam arsitektur, belajar tentang yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Dengan kata lain, menjadi arsitek otentik itu belajar, sebuah perjuangan yang sering tidak mudah.

Mereka yang berada di kondisi cadangan, sebetulnya masih punya kemungkinan dan potensi untuk menjadi otentik. Hanya saja, keberadaan dalam kondisi cadangan yang terlalu lama akan mengikis potensi-potensi otentik, bahkan mematikan potensi itu. Ada singa yang terlalu lama dalam kerangkeng, ketika dilepas ke habitatnya justru mati. Persis seperti yang dikatakan Yu Sing: tertatih-tatih karena tidak terlatih. Maka, berlatihlah tanpa henti untuk menjadi otentik, untuk meng-Indonesia.

/Gravitasi/

Jika toh upaya dan perjuangan untuk menjadi arsitek yang otentik mendapat banyak tantangan dan hambatan, dan keberadaan arsitek cadangan masih dominan, maka kita masih bisa berharap pada gravitasi arsitektur Nusantara-Indonesia. Gravitasi adalah gaya tarik yang dimiliki oleh benda-benda berukuran sangat besar (misalnya planet, bintang-bintang), sehingga bisa menarik benda-benda yang lebih kecil agar tetap menempel atau mengorbit pada benda besar itu.

Arsitektur Nusantara yang kebetulan sebagian besar ada di Indonesia, dibangun dari tradisi arsitektur besar dari masa lalu dan terus berkembang ke masa kini. Kebesarannya bukan main-main, setanding dengan kebesaran arsitektur Barat, hanya saja banyak yang belum mengakui atau belum mengetahui. Kebesaran itulah yang membuat arsitektur Nusantara memiliki energi besar untuk menarik para arsitek dan pemerhati arsitektur Nusantara.

Jadi, arsitektur Nusantara itu adalah ibu arsitektur kita. Ibu, yang sering digambarkan sebagai perempuan tua yang ringkih, tetapi energi besarnya mampu memanggil anak-anaknya untuk datang kepadanya. Mengapa? Karena ibu menjadi “asal” dari anak-anaknya. Anak-anak datang ke dunia lewat rahimnya. Dari situlah ibu mampu mendedahkan “rasa kangen, rasa rindu” pada anak-anaknya untuk pulang, menengok kampung halaman, haribaan ibu pertiwi.

Gravitasi arsitektur Nusantara masih memiliki simpanan energi cukup besar dan masih bisa membesar lagi. Gravitasi itu masih mampu membuat karya Yori Antar tampil meng-Ambon atau mem-Flores, membuat karya Edwin Nafarin tampil men-Candi Jawa Timur, membuat karya Popo Danes atau Putu Mahendra tampil mem-Bali atau men-Tropis, membuat karya MADcahyo tampil mem-Bata dan meng-Kayu, membuat karya Yu Sing tampil meng-Kampung atau me-Rumah Panjang, membuat karya Ridwan Kamil tampil meng-Aceh atau mem-Batik, membuat karya Eko Prawoto mem-Bambu dan men-Deso, membuat karya arsitek tahun 1950-an sampai 1960-an tampil men-Jengki dan seterusnya.

Gravitasi arsitektur Nusantara tidak akan berpengaruh jika si arsitek tidak berada di dalam gelombang energi yang sama dengan gravitasi itu. Bagaimana agar berada dalam gelombang yang sama? caranya dengan berupaya menjadi arsitek yang otentik. Seperti diungkapkan dalam puisi Rendra: langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa. Nah!

/Enantiodromia/

Jikalau toh pada akhirnya gravitasi tidak lagi mampu menarik arsitek untuk meng-Indonesia, harapan terakhir ada pada enantiodromia. Enantiodromia merupakan konsep dari Carl Gustav Jung, bisa digambarkan begini: dalam kondisi yang sangat ektrem atau berlebihan, justru yang akan muncul adalah lawan dari kondisi itu. Misalnya: jika anda senang kemungkinan besar akan tertawa, tapi jika anda berada dalam keadaan bahagia yang sangat, yang muncul justru tangisan. Cahaya yang normal membuat kita bisa melihat benda-benda dengan jelas, tapi cahaya yang berlebihan/ekstrem justru membutakan mata kita.

Ketika arsitek (baca: arsitek cadangan) membuat karya mem-bukanIndonesia atau meng-Global, anggap saja itu hal biasa. Kita tunggu saja sampai nanti ketika mereka membuat karya yang mem-bukanIndonesia atau meng-Global secara ektrem, bukan tidak mungkin yang muncul justru karya yang meng-Indonesia, bahkan lebih meng-Indonesia daripada yang pernah ada sebelumnya.

Perumpamaannya seperti kisah enantiodromik dari Paulus atau Umar bin Khottob. Paulus awalnya adalah penganiaya yang kejam terhadap orang-orang Kristen, namun pada akhirnya dia berbalik menjadi penyebar ajaran Yesus yang paling gigih. Sama dengan Umar bin Khottob, yang merupakan penentang Muhammad dan bahkan pernah akan membunuh Muhammad, akhirnya berbalik menjadi pengikut dan pembelanya yang paling setia dan berani. Kalau menurut Profesor Johanes Surya yang fisikawan itu, butuh kondisi “mestakung” (semesta mendukung) yang memungkinkan terjadinya sebuah peristiwa penting, termasuk enantiodromia tampilan arsitektur. Bisa saja minggu depan ada arsitek kita yang biasanya membuat tampilan arsitektur yang meng-Global, tiba-tiba saja berbalik membuat tampilan yang meng-Indonesia. Hmmmm, semoga!

*Anas Hidayat

arsiTEKS di REK - REpublik Kreatif Surabaya

/Catatan/

Saya memakai teori Heidegger dan Carl Gustav Jung dengan pertimbangan bahwa untuk membahas masalah tampilan arsitektur yang meng-Indonesia ini cukup dengan teori Heidegger atau Jung saja. Belum perlu menggunakan Jatimurti (sebuah kitab filosofi Jawa Nusantara), karena Jatimurti jauh lebih hebat daripada teori Heidegger dan Jung. Untuk menembak burung, saya hanya perlu meminjam senapan angin, belum perlu memakai meriam. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar