3.6.12

kemewahan dari kesederhanaan dan ketulusan


Kemarin dan hari ini saya mengalami saat sangat istimewa. Di depan candi pawon, dekat candi borobudur, mata saya tertuju kepada rangka atap rumah dusun yang terbuat dari bilah-bilah bambu petung yang dipasang berdiri. Segera saja saya berkenalan dengan mas dhamar pemilik rumahnya. Bambu-bambu itu telah 20 tahun di sana, mas dhamar ikut merangkainya dan memasang bersama-sama warga satu rt. Gotong royong. Saya sama sekali tak menyangka, mas dhamar yang terlihat sangat muda, sudah berusia banyak kata istrinya, 40 tahun lebih.

Baru saja berkenalan, bersama pak paulus mintarga dan mas adi purnomo yang juga ikut kagum pada kaso bambu-bambu dan cara pemasangannya itu, mas dhamar bercerita lebih banyak tentang rumahnya dan mengajak kami masuk ke halaman lebih dalam. Di sana masih ada sumur senggot, sumur tua yang masih dipertahankan. Istimewanya sumur ini adalah tali timbanya tidak pakai tali, tapi pakai batang bambu yang sangat panjang sampai kira-kira 8 meter! Malah mungkin sampai 10 meter, engsel di ketinggian sekitar 4 meter dari tanah membuat keseimbangan timba bambu panjang itu menjadi ringan. Panjangnya bilah bambu itu menggantikan tali untuk menggantung ember seng sampai ke muka air sumur yang cukup dalam.

Air yang telah ditimba, diguyurkan ke dalam pipa bambu yang satu sisinya menempel tanah. Bambu itu jenis bambu ampel. Asal ujung bambu itu menyentuh tanah, bukan tertanam, maka bambu ampel masih terus hidup. Terlihat dari tunas-tunasnya yang tumbuh di batang pipa bambu itu. Luar biasa! Pipa bambu menjadi awet karena masih hidup, tidak mengering. Walaupun tiap hari diterpa sinar matahari dan dipakai untuk mengalirkan air yang dipakai untuk cuci kaki-tangan atau muka. Seperti hampir sama dengan pohon bambu yang masih hidup.

Di depan rumah ada 2 pohon kelapa seperti gerbang. Ternyata keluarga mas dhamar satu-satunya keluarga di dusun itu yang masih membuat gula kelapa. Kami dipersilakan mencicipi sambil disuguhi teh panas. Sambil masuk ke ruang makan melalui pawon/dapur. Pawonnya sangat sederhana. Seperti pawon rumah-rumah di dusun umumnya yang tidak genit ingin seperti kota. Lantai masih semen berdinding gedek bambu dan tungku-tungku tempat masak berjejer. Tungku-tungku tanah liat yang menggunakan kayu bakar itu sebagai tempat membuat gula jawa kelapa dan masakan-masakan lainnya.

Walaupun baru kenal, kami dipersilakan duduk di ruang makan di samping pawon itu. Teh panas gula kelapa ditemani cemilan rangginang, emping, dan gorengan. Kami dilayani seperti tamu terhormat di hotel mewah. Sambil bertanya-tanya, terungkaplah bahwa rumah dusun mas dhamar ini memang hotel mewah sangat mahal. Bukan hotel sesungguhnya. Tetapi menjadi tempat wisata tamu-tamu hotel amanjiwo yang harga kamarnya sebelas jutaan rupiah. Dan pawon sederhana itulah tempat romantic dinner nya! Berbagai tamu wisatawan asing telah menikmati makan malam romantis di pawon sederhana yang istimewa ini.

Entah bagaimana, begitu masuk ke sana, dengan keramah tamahan mas dhamar yang sangat luar biasa, kami langsung betah berlama-lama di sana. Diskusi penting kelanjutan kegiatan merajut bambu seribu candi, upaya kemanusiaan bersama relawan mahasiswa dan arsitek untuk berinisiatif mencari peluang membantu masyarakat dusun berkehidupan lebih baik, segera saja berlangsung di sana. Kesederhanaan yang sangat mewah. Dari pawon, menuju impian-harapan-tekad bagi kelestarian dan kesejahteraan dusun (-dusun di indonesia). Saat istimewa bersama pak josef prijotomo, pak eko prawoto dan ibu, pak galih widjil pangarsa, pak paulus mintarga, mas adi purnomo.

Borobudur, 29 april 2012
yu sing
pawon yang juga tempat romantic dinner

diskusi pawon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar