“kalau bisa jangan pakai styrofoam oom” saya nyeplos sewaktu
beli nasi pepes dekat rumah sambil bawa
kotak makanan dan kantong sendiri. “kan
ada daunnya” kata si oom. “bukan, styrofoam kan sulit terurai”. “ohh..lingkungan..iya
memang tidak baik untuk lingkungan. Tapi susah. Kalau ada pesanan 50 pepes
nasi, kalau ga pakai styrofoam nasinya gepeng, daunnya bisa sobek yang di
bagian bawah. Pakai dus juga mahal. 1 dus aja harganya 850 rupiah. Kalau ditumpuk
juga dus ga terlalu kuat. Memang pernah ada yang beli dari jakarta, sama sekali
tidak mau pakai styroform. Dia emang ‘orang lingkungan’. Jadi pakai dus tapi
dusnya dibayar terpisah.” Ah si oom sudah punya segudang kalimat pamungkas. Tapi
yang beli sedikit dan tidak ditumpuk juga saya rasa masih pakai styroform. Dulu
sih begitu, entah sekarang. Kalau banyak orang gangguin, mungkin dikit-dikit
bisa dikurangi.
Nasi pepes si oom ini sering dipesan banyak di dalam kota
maupun di luar kota karena rasanya yang enak. Pesanannya bisa sampai dikirim ke
lampung. Jakarta sih sering. “Pernah saya kirim ke kementerian di jakarta,
waktu itu masih andi malarangeng. Pakai styroform. Gapa2 tuh.”
Saya lupa tanya berapa harga styroform per buah, dari hasil
google, katanya harga di pasaran 400 rupiah. Lalu saya juga ingat besek anyaman
bambu, ah itu pasti lebih mahal lagi dari dus. Bikinnya saja masih kerajinan tangan.
Memang tidak mudah ya kalau hitungannya harga. Sebetulnya mengurangi keuntungan
belum tentu keuntungannya betul2 berkurang. Dengan sedikit penjelasan soal
ramah lingkungan, mungkin akan lebih banyak orang yang beli dan otomatis jumlah
keuntungan bisa berkurang. Lama-lama bisa mulai menaikkan harganya juga.
Tapi persoalan2 seperti ini sebetulnya bisa selesai dengan
cukup sederhana. Penegakan hukum dan peraturan. Aturan melarang dan penegakan
hukum yang konsisten. Kalau menjadi syarat untuk semua secara merata, termasuk
pedagang kecil, maka semua harus ikut kan. Kalau melanggar, ya diberikan sangsi
saja. Kalau diberlakukan secara merata, maka tidak menjadi persoalan persaingan
harga. Ah, tapi mana mungkin. Sekarang kan sedang tidak ada presiden dan
pemimpin =p.
Pengakuan dosa. Saya dan keluarga juga sudah berusaha,
tetapi belum bisa sama sekali tidak membuang sampah yang sulit terurai. Makan siang
hari ini saja sudah menambah 1 plastik bungkus kerupuk. 1 plastik bungkus emping.
2 plastik kecil bungkus sambal. Mungkinkah sama sekali tidak menyampah? Yang lebih
berpengalaman, tolong cerita dong =).
cimahi, 19 desember 2012
yu sing
Bung Yu Sing yg baik,
BalasHapusSampah memang permasalahan yang erat bergandeng-tangan dengan peradaban manusia modern. Biasa-nya makin modern satu peradaban makin 'rajin' ia menyampah. Kalau dipikirkan sambil dibanding kan dengan sistim peradaban non-modern yang masih dekat dengan alam maka peradaban yang masih dekat dengan alam juga 'menyampah' namun terbatas/lokal tidak global ditambah lagi sampah yang yang mereka produksi umumnya sampah berkarakter organik-murni [seperti daun pisang sebagai alat pembungkus makanan] bahan seperti ini tentu mudah serta reltif cepat terurai di alam. Lain lagi dengan sampah peradaban konsumtif modern berkarakter 'composite' semisal sampul majalah 'glossy' yang mengandung unsur derivatif minyak-bumi seperti plastik, tinta baru bubur kertas yang kemungkinan besar mengandung senyawa kimia klorin untuk yang model begini perlu pendekatan "C2C" atau "Cradle to Cradle" [ref McDonough & Braungart];'industrial-ecology' ataupun 'at source sorting'[sistim pilah sampah di-mula/asal]. Karena pola bangun atau 'development pattern' yang dominan sedunia adalah pola yang di cetuskan dari Amerika[Truman inaugural speech 1949] maka wajar di'copy and paste' oleh negara-negara berkembang yang dipengaruhi secara politis/ekonomi 'Uncle Sam' - wah kok ceritanya jadi panjang begini ya? hahaha...anyways untuk konteks Indo kita perlu mencari pola pengelolaan sampah yang tepat guna dan sesuai dengan kondisi daerah/tempat masing-masing. Artinya skala tempat/populasi dan SDM hars diperhitungkan baik-baik. O hampir lupa dialam semua sampah adalah 'resources' atau sumber daya bagi orgnaisme lainnya jadi dialam yang fungsi-fungsi ekologis-nya masih sempurna tidak ditemukan yang namanya sampah [asyik banget ya?] secara saintifik 'sampah' = enerji [ingatkan hukum kekekalan enerji 1 dan 2 ?]
Solusi pribadi saya: saya membuat kompos yang dibantu oleh cacing jenis eisinia fetida sp. Cacing itu hebat ia mampu makan minimum separuh berat tubuhnya sendiri jadi kalau kita pelihara cacing seberat 2kg maka sampah RT/dapur/organik seberat 1kg mampu diuraikan menjadi humus kaya mineral yang sangat baik untuk tanaman kita.
Salam kompak selalu :)
ivan
tanikota.blogspot.com
bagus
BalasHapushehe benar sekali, Pak Yu Sing. Kalau saya pribadi sebagai mahasiswa sampai saat ini 'hanya' bisa mengurangi sampah dengan menolak kantong kresek di minimarket/tempat fotocopyan/penjual makanan, dll selagi saya masih bisa membawanya di tas. Saya pernah membaca suatu artikel bahwa penggunaan kantong kresek kurang dari 5 menit, setelah itu dibuang. Sayangnya, banyak orang berpikir penggunaan kantong kresek itu wajar. Beli penghapus kecil saja harus dikresekin, padahal bisa langsung dibawa atau dimasukkan kantong.
BalasHapusHarapan saya ketika sudah tidak menjadi mahasiswa (semoga sekarang juga sudah bisa, tidak usah menunggu lulus) lebih banyak lagi aksi nyata yang dapat dilakukan untuk mengurangi sampah :)
salam, (calon) arsitek di Malang