Indonesia itu kaya. Katanya. Konon. Dan rakyatnya miskin. Ini
pasti.
Tercatat 96 juta rakyat Indonesia harusnya menerima jaminan
kesehatan masyarakat dan baru terpenuhi 86 juta orang. Biro Pusat Statistik
punya hitungan lain. Hanya 29 jutaan orang yang miskin dengan patokan biaya
hidup < Rp 212.000,- per bulan. Itu sih bukan miskin. Tapi sangat miskin! Bahkan
yang sangat miskin itupun jumlah sedikit lebih banyak dari seluruh warga negara
Malaysia tetangga kita!
Rumah. Kebutuhan dasar. Yang sekarang digadang2 sebagai
barang (mewah) investasi. semakin dijual sebagai investasi, harga semakin naik
tidak karuan. Pembeli rumah kebanyakan yang sebelumnya sudah punya rumah, tapi
ingin investasi. Yang belum punya rumah makin sulit punya rumah. Tidak terjangkau.
Rakyat miskin mana bisa investasi? Rumah bukan barang investasi. Rumah itu
kebutuhan dasar. Papan. Masih ingat sandang, pangan, papan? Itu loh, 3 kebutuhan
primer atau dasar manusia yang lewat buku sekolah keluaran pemerintah kita
waktu kecil disuruh menghafal. Tapi apa kita memang bodoh? Negara apakah boleh
kita sebut yang sampai hari ini tidak bisa menyediakan kebutuhan dasar bagi
rakyatnya?
Dulu, bahkan mungkin sebelum ada negara resmi Republik
Indonesia, rakyat yang tinggal di tanah nusantara sudah punya rumah. Ya mereka
tidak miskin. Kalau ukurannya kebutuhan dasar. Papan. Rumah-rumah mereka bisa
bangun sendiri. Material diambil dari hutan atau lingkungan sekitar mereka. Tidak
sedikit kita lihat dan dengar berbagai ritual masyarakat adat ketika mengambil
sesuatu dari alam. Mereka bersyukur pada alam yang menyediakan. Mereka memelihara
alam. Mengambil seperlunya. Sekarang kita kenal rumah-rumah tradisional yang ingin
semuanya kita lestarikan. Beragam. Indah.
Nyaman. Vernakular. Sangat ramah lingkungan. Lestari.
Demikian pula sandang. Mereka bisa membuatnya sendiri. Pakai
sesuai yang mereka perlukan. Termasuk juga kain-kain tenun. Sekarang pun kita
masih bisa melihat karya2 tangan mereka yang luar biasa indah. Pangan. Mereka menanam.
Memelihara. Bekerja. Berburu. Dan menikmati hasilnya. Tanpa pupuk-pupuk kimiawi
perusak tanah dan pembuat penyakit bagi tubuh manusia.
Dulu, rakyat nusantara sudah bisa memenuhi kebutuhan
dasarnya. Ya, mereka tidak miskin. Kaya. Sekarang. Mereka miskin.. atau
dimiskinkan? Sengaja disebut bodoh dan miskin? Dan ditipu pula. Rumah adalah
tembok (bata). Kayu bukan rumah. Bambu bukan rumah. Itu sementara. SEMENTARA! Mau
punya rumah? Beli! Lantai pakai keramik. Jangan tanah. Rumah jangan panggung. Urug
saja rawa-rawa dan lahan-lahan basah. Dirikan rumah di atas tanah. Tapi pakai
keramik. Beli semen. Beli atap. Kayu? Bambu? Jangan...awas rayap. Awas, potong
kayu itu salah!...Hutan milik negara. Milik pemerintah tepatnya. Tergantung siapa
yang memerintah. Yang suka makan kayu, maka kayu habis. Yang suka makan emas,
maka emas habis. Yang suka makan air, maka air habis dijual. Rakyat tak dapat
air bersih. Beli! Air harus beli. Pakai kemasan steril. Diambil dari mata air
terbersih. Yang sudah negara jual. Dan sekarang rakyat harus beli.
Terjadilah. Rumah-rumah seragam di seluruh indonesia. Rumah tembok
berlapis semen. Berlapis keramik pula. Dan jendela pakai engsel pabrikan. Dari aceh
sampai papua. Dari sabang sampai merauke. Dari miangas sampai pulau rote. Tak peduli
pabrik semen ada di mana. Tak peduli pabrik keramik ada di mana. Milik siapa. Tak
peduli dibeli dari negeri mana. Beli! Maka kau punya rumah.
Tak punya rumah? Kalian emang miskin! Tak mampu beli rumah. Rakyat
dimiskinkan. Tak mampu beli rumah. Ketika membangun rumah sudah lupa dan tak
sanggup. Ketika alam sudah tidak dipelihara. Kayu-kayu sudah dimakan penguasa. Bambu
hanya alat membangun sementara. Daun...ah, bakarlah itu. Itu bukan atap. Rakyat
mulai makan semen. Makan keramik. Makan engsel.
Mulailah ketergantungan. Bukan narkotika....bukan...tapi
semen, keramik, engsel. Kadang seng. Kadang paku. Kadang baja. Tak mampu beli
semen dan baja, tapi sakau ingin rumah tembok bata. Lupakan sejenak kolom
beton, kayu sudah lupa, bangunlah rumah tembok bata. Datanglah gempa. Hancurlah
rumah. Gemparlah dunia. Orang miskin harus dibantu. Negara miskin harus
dibantu. Ini, beli baja ringan. Beli dinding GRC. Beli gypsum. Beli kusen
seolah-olah kayu. BELI!
Apa kata pemerintah? Kayu dan bambu bukan rumah. Tidak permanen.
Sementara. Ini kami kasih rumah sementara. Rumah bambu. Nanti rusak, lalu
belilah rumah! Beli! Tuh lihat dari luar negeri. Hebat bukan? Anti rayap. Anti karat.
Beli! Kalau bangun rumah bukan pakai semen dan tembok, kalian gak bisa dapat
kredit dari bank. Maka, lupakanlah yang dulu-dulu. Pakai, beli yang sekarang. Hutan
itu milik pemerintah. Tergantung siapa yang memerintah. Sekarang rakyat tahu. Pemerintah
suka makan kayu. Dan pakai kayu itu salah.
Tapi sebentar. Lupakan pemerintah. Ingat masa indah dulu. Kita
tidak miskin bukan? Dulu kita tak peduli ada pabrik semen, pabrik keramik,
baja, engsel, dan segalanya itu. Kita tak pernah dengar kata industri. Memang dulu
tak ada pabrik ini itu. Sekarang kita tahu. Industri kita sebetulnya alam kita.
Milik Sang Pencipta. Yang menitipkannya untuk kita pelihara, pergunakan, dan
lestarikan. Pemerintah kita adalah Sang Pencipta pemberi hidup dan kehidupan. Ya
kita TIDAK MISKIN! Kita kaya! Tak pernah kekurangan.
Tanah kita tanah surga. Bukan milik kita. Tapi harus kita
kelola untuk semua mahluk. Dan kita bisa punya rumah. Dulu kita juga punya
rumah. Orang ambon punya banyak sekali pohon sagu. Yang ditanam lalu tumbuh
terus beranak pinak seperti pohon pisang. 1 pohon sagu cukup untuk makan 3
bulan 1 keluarga. Kayu, pelepah daun, & daunnya bisa untuk lantai dinding
dan atap. Malah ada masjid wapauwe di maluku yang dibangun tahun 1414 pakai
kayu sagu. Jembatan di sangihe, sulawesi utara pakai kayu sagu untuk tulangan
betonnya. Sekarang, orang ambon mau makan sagu harus pergi ke restoran di
ambon. Pohon sagu ditebang-tebang.
Miskin. Ya kita miskin. Karena kita pembeli. Alam kita
lupakan. Menanam kita ga sempat. Kita ingin seragam. Alam indonesia yang
menyimpan potensi sangat beragam sudah terlupakan. Rumah kita tak punya. Beli
pun susah. Kita menonton. Kita lupa, Sang Pencipta menitipkan alam. Kita dan
alam saling bergantung, atas kuasa Sang Pencipta. Mari kembali pelihara. Tanam.
Pakai. Temukan. Belajar kembali. Kalau kita perlu alam, yang memberi
kenikmatan, kita akan memeliharanya. Sesuai potensi masing-masing. Alam rumah
kita. Tak perlu dibuat sama.
Sebentar, dimanakah arsitek?
studio akanoma, padalarang, 11 oktober 2013
yu sing
11 komentar:
Perenungan yang bagus, para arsitek seharusnya bisa melobi pemerintah untuk mengadvokasi hal ini, setidaknya arsitek bisa menjembatani rakyat yang akan membangun rumah "non-semen". Salam.
Saya menangis membaca pak yusing.
jempol buat bung Yu Sing....
"dimanakah arsitek indonesia?" hiks
Inspiratif mas yu sing...
mas mas...usul, banyakin desain rumah yg kalau direalisasikan tidak menghabiskan dana besar Tapi tetap pantas jadi cocok utk orang2 seperti saya yg masih mimpi utk punya rumah sendiri :-D
penutupnya menghentak sekali pak
'pola pembangunan' [pemerintah]kita tak waspada kala meng 'copy & paste' pola bangun 'moderen' dgn serta-merta...'dimanakah arsitek?' tanya bung yu sing..jawabnya arsitek biasa ada dimana-mana namun arsitek yg mampu berpikir jarang ada apalagi arsitek yg mampu BERTANYA nah ini yg luar biasa jarangnya...[untuk pelipur lara founding father negeri ini seorang arsitek jd banggalah jadi arsitek] :)
wah sudah lama saya bermimpi ketemu arsitek yg bersahabat dg alam tapi memberi kontribusi penataan lingkungan dan rumah murah yg efisien dan fungsional...karena arsitek sekarang kok konotasinya hanya melayani orang kaya dan perusahaan besar dg mendirikan hanya gedung2 modern yg masif dan justru 'merusak' lingkungan alami dan jadi sumber banjir serta kekurangan air di musim kemarau...akibat tanah resapan banyak tertutup aspal dan bangunan semen...halo, selamat kembali ke alam realitas Indonesia Hijau...aku memerlukanmu, masbro Yu Sing...
terima kasih sudah mampir teman2.
kadang kita tanpa sadar sudah berjalan terlalu jauh. tapi sayangnya bukan jalan yg seharusnya dilalui. mungkin waktunya melihat kembali langkah kaki kita masing2. untuk kembali ke jalan yang lebih tepat
@ mas aan
persoalannya juga banyak org blm punya rumah , anggaran sgt terbatas, tetapi inginnya rumah 'standar' umum. ya tentu mahal dan ga terjangkau. seringkali tidak mau ketika disodorkan alternatif rumah (sangat) sederhana sehat terjangkau dg material2 alam yang msh relatif murah & melimpah.
msh perlu waktu yg entah sampai kapan, bahwa rumah bagi kebanyakan orang adalah sebenarnya sangat sementara. tidak perlu dibuat langsung sebagai rumah impian.
begitu juga masyarakat dulu membangun. cukup. berteduh. kebutuhan dasar. kalau sudah mencapai rasa cukup seperti itu, mestinya rumah tidak lagi (terlalu) mahal.
Mari perjuangkan rumah sederhana tanpa carport mobil mas :)
Tulisannya menghentak sekali, Mas Yu Sing. Sepakat bahwa banyak masyarakat terutama yang (maaf) miskin di lingkungan yang termodernisasi mulai 'terbodohi' dengan apa yang disebut rumah yang baik atau layak. Sayangnya pemerintah pun sepertinya tidak jelas/detail dengan indikator rumah layak huni itu. Daun rumbia, itu bukan atap, ganti seng, genteng atau kalau mau murah asbes; kayu, bambu, itu tidak layak untuk lantai, diturunkan saja rumahnya agar bisa berlantai semen dan berkeramik itu lebih baik; bilik bambu itu tidak layak, ganti kayu atau tembok. Heuu..
Dan, sedih sekali melihat masyarakat membangun rumah berdinding bata atau material pabrikan tanpa kolom dan balok, atau kalaupun ada dengan tulangan baja jauh dibawah standar demi sebuah rumah tembok yanng setelah diplester dan diberi cat warna warni akan terlihat lebih layak dan mewah. Padahal negri kita punya banyak kayu dan bambu. Kalau gempa datang, entahlah.. baiknya berdoa saja
Posting Komentar