2.4.12

daya bayang ruang rendah

Di sma kelas tiga, semua murid di sekolah saya akan mengikuti psikotes, sebagai bekal untuk menentukan jurusan di perguruan tinggi. Saya lupa hasil tes IQ saya berapa waktu itu, tetapi yang pasti masih rata-rata atau paling tidak sedikit di atasnya. Tapi saya ingat jelas bahwa nilai daya bayang ruang saya rendah. Karena itu jurusan arsitektur tidak menjadi salah satu yang direkomendasikan. Tapi saya belum sepenuhnya mengerti apa maksudnya dan akibatnya dengan daya bayang ruang yang rendah.

Memang nilai ulangan matematika dimensi tiga saya jeblok. Cuma dapat nilai 4 kalau tidak salah ingat. Tetapi itupun nilai tertinggi di sekolah cuma 6. Banyak teman saya yang dapat nilai 0. Nilai 4 ketika ulangan itu, termasuk lumayan. Soal ulangannya memang luar biasa susah. Selain ada hitungannya, soal ceritanya dibuat berbelit-belit dan harus dibayangkan pertemuan berbagai garis dan bidang di dalam volume geometris tertentu. Padahal biasanya nilai ulangan matematika saya antara 8 sampai 10. Tapi saya tidak sedih. Teman-teman saya juga tidak sedih. Kami ketawa-ketawa saja. Karena memang nilainya hancur semua. Jadi kami semua sama, senasib, jadi tidak sedih. Beda lagi kalau nilai saya 4 tapi yang lain di atas 6 dan ada yang dapat 8 atau 9. Pasti saya sedih dan menyesal kenapa tidak bisa. Ternyata lingkungan memberi pengaruh yang besar. Mungkin memang sebaiknya kita berkumpul di lingkungan teman-teman yang baik dan pintar agar kita terbawa baik dan pintar. Tapi bukan berarti teman-teman satu sekolah saya tidak pintar. Itu sih kondisi khusus. Guru laki-laki matematika saya sepertinya lagi pamer sama teman saya yang perempuan dengan membuat soal yang susah sekali.

Hasil psikotes dengan daya bayang ruang yang rendah saya hubungkan dengan nilai ulangan dimensi tiga saya yang jelek. Hanya itu saja. Dan saya tetap mengambil jurusan arsitektur. Di arsitektur ada pelajaran membuat perspektif. Ada teknik-teknik tertentu yang menghubungkan garis-baris bantu yang rumit dengan hitungan jarak tertentu. Saya yang merasa pandai matematika merasa mampu membuatnya. Tapi dosen saya bilang sudut pandangnya kurang bagus. Saya tidak mengerti maksudnya. Dalam ujian akhir semester tentang perspektif, saya stress berat. Keringat dingin bercucuran. Teman-teman saya bisa mengerjakan dengan lancar, tetapi saya kebingungan. Garis-garis yang saya buat tidak jadi bangunan seperti yang seharusnya. Berkali-kali mencoba kembali tetap saja tidak jadi. Saya juga heran apa masalahnya.

Daya bayang ruang saya rendah. Ternyata ini maksudnya. Lalu saya menyadari juga tidak bisa mengingat jalan. Walaupun tiap hari saya pergi naik angkutan kota atau motor dari rumah sampai kampus, sampai satu titik saya tidak bisa membayangkan arah jalannya. Tetapi kalau dijalani bisa sampai tanpa kesasar karena setiap hari melalui jalan yang sama. Tapi saya tidak bisa membayangkannya dalam pikiran saya. Memang waktu itu rumah saya di soreang. Mungkin sekitar 20km dari kampus itb. Tetapi memang saya tidak hafal jalan-jalan di bandung tempat saya tinggal. Sulit untuk mencari alternatif jalan yang lebih dekat untuk mencapai tujuan tertentu. Biasanya hanya ingat jalan yang sering dilalui saja.

Daya bayang ruang yang rendah, ternyata merepotkan juga. Ini tanda-tanda makin tidak baik. Bagaimana saya bisa melanjutkan kuliah-kuliah di arsitektur yang masih demikian panjang? Mulailah saya sakit perut kalau memikirkannya. Stress tiba-tiba. Sebagai orang plegmatik, saya jarang sekali stress. Juga tidak mudah stress. Sewaktu ospek jurusan, ketika teman-teman banyak yang sudah tertekan oleh panitia dan senior (yang harus dipanggil dewa dan mahadewa), mimik muka saya masih tenang-tenang saja. Sampai saya dijadikan sasaran oleh dewa dan mahadewa..eh panitia dan senior. Ditabrak-tabrak. Didorong-dorong. Dibentak-bentak. Ditakut-takuti. Tanpa alasan jelas. Maksudnya supaya saya ikut stress seperti kebanyakan teman saya yang lain dan tidak tenang-tenang saja. Sempat juga ingin marah, tetapi akhirnya tahu alasannya lewat seorang panitia yang baik. Dan saya jadi tetap tenang-tenang saja.

Masa depan saya menjadi buram. Saya merasa tidak akan sanggup melanjutkan. Saya sempat berpikir pindah jurusan saja. walaupun rugi satu tahun karena harus mengulang. Saya sering berkeringat dingin dan sakit perut tiba-tiba. Kuliah apapun tidak lagi semangat. Asal datang saja dan tanda tangan absen. Bagaimanapun saya tidak mau titip dan dititipi absen atau mencontek. Ini tekad saya berikutnya. (Karena tekad saya bermalas-malasan sudah hancur. Berkeping-keping, seperti kata anak saya kalau mainannya hancur). Tekad Sampai lulus. Kalau lulus. Dan memang tekad ini bisa bertahan sampai akhirnya. Tidak ada teman-teman yang menitipkan absennya pada saya karena tahu saya tidak akan mau.

Stress memang jadi teman sehari-hari. Teman-teman seangkatan juga banyak yang terlihat stress. Tapi di dalam hati saya jauh mengalami stress yang berat dan tiba-tiba. Sampai saya hampir depresi. Setiap hari seperti sakit demam. Jalan melayang tidak menapak tanah. Kuliah hanya supaya bisa tanda tangan absen. Pulang kuliah langsung masuk kamar tidur di rumah. Tidur melarikan diri dari stress. Bertanya-tanya dan bingung. Tidak tahu mau apa. Tidak ada semangat hidup. Malas-malasan dan daya bayang ruang yang rendah adalah dua hal utama yang tidak cocok untuk jurusan arsitektur. Sampai di masa-masa stress berat dan badan melayang seperti itu, saya bertanya berbagai macam hal yang tidak jelas. Setiap tidur sering mimpi buruk. Keringan dingin sering menetes. Satu pertanyaan yang saya ingat, “buat apa saya hidup? Kenapa saya hidup? Kenapa roh saya lahir ke dunia? Kenapa tidak roh orang lain saja dan saya tidak pernah dilahirkan?”. Buat apa saya hidup? Pertanyaan yang terus saya tanyakan kepada diri sendiri.

1 april 2012

yu sing

8 komentar:

  1. :)
    Nice story Mas..
    Tapi daya bayang rendah akhirnya tersisihkan, yg ada dirimu malah berhasil sekarang :D

    Saya justru mantan calon Arsitek :)
    Salam

    BalasHapus
  2. hehe..makasih ya. daya bayangnya sih masih tetap kok. cuma dgn kekurangan bukan berarti tidak bisa kan? =)

    BalasHapus
  3. titik baliknya gimana mas? akhirnya bisa tetap setia di jalur arsitektur

    BalasHapus
  4. Anonim5.10.12

    Soal titip menitip absen, saya punya prinsip yang sama dengan Pak Yu Sing, sampai akhirnya tamat saya tetap memegang prinsip itu. :)
    kejujuran bagi saya adalah hal yang tak bisa digantikan dengan apapun. :)
    Daya ruang yang rendah, saya tidak tau bagaimana kemapuan saya karna jujur baru pertama kali mendengar kalimat itu di post ini. hehehe...
    Nilai2 saya selama perkualiahan bisa dibilang cukup baik, itu satu kebanggaan atas usaha keras saya tetapi disetiap desain yang saya kerjakan selalu ada saja perasaan ini masih kurang, masih sangat kurang.
    Saya juga bingung, tapi saya harus jujur itu memang masih jauh dibawah normal :D
    Sekarang saya sudah bekerja disalah satu perusahaan property walau sebenarnya sejak dulu cita2 saya adalah ingin bergabung dengan team arsitek yang benar2 menjunjung tinggi idealisme arsitektur, bukan sekedar menguntungkan diri sendiri.

    BalasHapus
  5. @ atta, ketemu dosen yg menyenangkan=)

    @novita, cita2 jangan ditutup. mudah2an ketemu jalannya agar hidup sesuai minat shg lbh menyenangkan =). yg penting belajar terus. misal ikut sayembara

    BalasHapus
  6. Anonim6.10.12

    makasih pak. :)

    BalasHapus
  7. Dosennya, bu ririn bukan pak? Saya setengah ngefans sama dosen rancang visual saya itu haha. Kalau tidak berkenan tidak usah ditanggapi tidak apa2 pak :)

    BalasHapus
  8. bukan, pak eko purwono =)

    BalasHapus