Vila ini terletak di ubud, bali. Tiap kali ke bali, setiap
hari kita akan melihat ritual doa masyarakat bali. Doa atau sembahyang telah
menjadi satu dengan semua kegiatan sehari-hari lainnya. Dalam salah satu
tulisan yang saya baca (www.beritabali.com) tentang asal usul nama pulau bali
disebutkan seperti demikian, ” dalam kitab Ramayana yang disusun 1.200 SM:
"Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa (yang dimaksud adalah pulau jawa) yang
bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya
berupa bebali (sesajen)." Vali
Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yang kemudian berubah fonem menjadi Pulau
Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali
memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan
sehari-harinya.”
Tiga
unsur yang selalu ada dalam sesajen orang bali yaitu air, api, dan bunga harum.
Air menjadi unsur penting di Bali, bukan hanya untuk kebutuhan hidup
sehari-hari, tetapi juga menjadi bagian dari spiritualitasnya. Dalam mencari
desain vila di ubud ini, akar budaya yang menarik untuk menjadi sumber
inspirasi adalah unsur air tersebut. Menurut penjelasan Ben Sarasvati teman
saya orang Bali, air dalam sesajen bali itu merupakan air suci yang telah
didoakan oleh pemangku/pendeta yang disebut Tirtha. Maknanya adalah pemberkatan
dan penyucian.
Di samping lokasi tanah
vila ini juga terdapat air suci (yang menurut masyarakat setempat merupakan
satu sumber dengan air suci Pura Tirtha Empul di Tampak Siring) yang terletak
di bawah pohon beringin yang sudah besar dan terdapat pura di dekatnya. Upacara
ritual Mapeed, 10 hari setelah hari raya Kuningan, juga dilakukan di pura ini. Ritual ini
merupakan perwujudan rasa syukur umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa (putusukmana.blogspot.com). Dalam ritual Mapeed, terlihat pemandangan yang menarik berupa
iring-iringan ibu-ibu rumah tangga berseragam pakaian adat membawa sesajen di
atas kepalanya.
|
foto: i putu sukmana ghitha |
Betapa
pentingnya air suci dan berbagai kegiatan upacara ritual di sekitar lokasi
lahan ini, semakin mendorong kami untuk mendesain vila yang berunsur air
sebagai bagian dari nilai lokal yang spesifik. Tanah ini sebetulnya milik
keluarga kerajaan ubud yang semula ingin dijual karena membutuhkan biaya besar
untuk memperbaiki dan merawat Puranya. Klien kami ibu stella merasa sayang
kalau tanahnya hanya dijual begitu saja, apalagi kalau sampai dimiliki oleh
orang asing. Karena itu diusulkan kepada pemilik untuk mengelola tanahnya
bersama-sama dengan cara didesain sebagai kompleks vila, tidak hanya dijual
sebagai tanah kosong. Sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan, ibu stella
merencanakan ada satu kavling khusus yang akan tetap menjadi pemilik tanah
semula. Kemungkinan besar kavling ini akan didesain sebagai vila tipe puri yang
modern.
|
vila embun dilihat dari kolam renang |
|
taman terasering |
|
menara didesain seperti Gebongan, sesajen khas Bali yang terdiri atas rangkaian buah dan sesajen. |
|
ruang santai dengan tangga melingkar sebagai latar belakang (struktur tangga bukan yang sebenarnya, gambar hanya ilustrasi posisi tangga) |
|
ilustrasi kamar tidur vila embun |
Vila
embun, kami menamakannya seperti itu, karena bentuk vilanya seperti embun atau
tetesan air. Di dalam vila embun, kami menitipkan berkat dan penyucian, seperti
air suci pada sesajen bali. Setiap orang (diutamakan orang indonesia) yang berkesempatan
membeli vila di tempat ini telah diberkati dengan memiliki vila di tanah yang
istimewa di ubud, karena itu pula sebagian dananya akan dikumpulkan untuk
memberkati ubud (yang masih dicari kemungkinannya akan seperti apa). Diberkati
untuk memberkati. Tidak sekedar jual beli.
Komitmen
dan paradigma seperti ini membuat kami tim desain lebih yakin dalam mengerjakan
desain ini. Beban bahwa tanah ini milik keluarga kerajaan ubud sudah sangat
besar, dan semula saya terus ragu-ragu untuk mulai mendesain walaupun tanah dan
foto-fotonya telah diperlihatkan. Saya malah mengerjakan desain lain terlebih
dahulu yang diberikan klien yang sama, tanah milik rakyat biasa di ubud yang
juga membutuhkan uang dan semula ingin menjual tanahnya (soal ini akan diceritakan
kemudian). Apalagi kalimat bahwa klien memikirkan tanah ini perlu diusahakan
agar dapat memberkati ubud. Semula saya mengusulkan agar memanfaatkan tanahnya
untuk fungsi-fungsi pemberdayaan komunitas masyarakat. Namun tidak dapat
dipungkiri pula bahwa dana yang cukup besar harus dihasilkan dari tanah ini.
Dalam
mendesain juga tantangannya tidak mudah. Berbagai contoh vila-vila yang
dipasarkan di bali menunjukkan bahwa ‘selera pasar’ yang dianut berbagai
pengembang kurang memperhatikan desain yang lebih mendalam. Vila-vilanya sangat
biasa saja. Ini serupa dengan bahasa pengembang perumahan-perumahan di berbagai
kota besar yang menjual rumah-rumah dengan asumsi ‘selera pasar’ yang lebih
mudah dijual. Atau seperti sinetron-sinetron tidak bermutu di televisi-televisi
di Indonesia yang katanya digemari penonton. Sekedar menjual apa yang disukai
walaupun kualitasnya biasa saja atau bahkan tidak baik.
Saya berusaha untuk tidak
terjebak dalam kondisi seperti itu. Apalagi visinya terhadap tanah ini sangat
tinggi. Desain awal vila embun ini dinilai terlalu berani. Investasinya akan
menjadi jauh lebih mahal daripada vila-vila lain yang sedang dipasarkan.
Katanya seperti adi busana yang enak dilihat, mengagumkan tetapi sulit untuk
dijual atau dipakai. Walaupun pendapat itu menurut saya kurang tepat, di luar
sana kita tidak hanya bersaing dengan vila-vila yang biasa-biasa saja tetapi
banyak, tetapi juga dengan vila-vila yang hebat walaupun lebih sedikit. Tetapi
saya mengerti bahwa perlu banyak penyesuaian terhadap kondisi-kondisi tersebut.
Saat ini vila embun akan menjadi tipe khusus, seperti menu spesial yang tidak
tercantum di buku menu, yang akan ditawarkan kepada orang tertentu saja. Bukan
menjadi menu utama. Entah nanti jadinya seperti apa. Mungkin juga bahkan berubah
menjadi fungsi spa dan restoran yang memang disediakan di kompleks vilanya.
Tipe-tipe lainnya sedang didesain kembali. Memang ada perubahan skenario pada
perencanaan luas masing-masing kavlingnya. Tetapi visi tanah ini dan sistem
sumbangsih calon pembeli pada ubud tetap akan bertahan. Semoga visinya akan
terus berbuah. Proses ini akan terus berlanjut. Peran arsitek memang tidak
mudah. Kadang perlu hati-hati kadang perlu berani.
bandung,
15 april 2012.
Maka
desain perlu segera diperbaiki. Desain vila embun perlu disesuaikan menjadi
desain vila yang biaya konstruksinya bisa lebih kecil. Kemudian kami mengingat
padi. Bali juga salah satu lumbung padi. Sistem pengairan subak sekarang telah
diakui unesco sebagai warisan dunia yang penting. Tapi kenyataan lain,
sawah-sawah di bali terus berkurang oleh kepentingan pariwisata dan berbagai
fasilitas yang mengikutinya. Beruntung lahan vila ini bukan berupa sawah.
Desain
vila embun berubah bentuk menjadi lumbung. Tetapi unsur air masih menjadi
sumber inspirasi yang tidak kami tinggalkan. Tetesan air masih menjadi bagian
yang disederhanakan pada bentuk denah vilanya. Lumbung mengingatkan bahwa sawah
di bali juga perlu dilestarikan. Lumbung masih diperlukan. Dan tidak bisa
dipisahkan dari air. Kemudian lahirlah 3 tipe vila: purity (120m2 + kolam
30m3), harmony (180 m2 + kolam 40m2), serenity (250 m2 + kolam 50m2). Gambar-gambar
lainnya dapat diihat di: www.royaltirtaubud.com
cimahi,
10 agustus 2012
|
tipe purity denah lantai 1 |
|
tipe purity denah lantai 2 |
|
tipe harmony denah lantai 1
|
|
tipe harmony denah lantai 2 |
|
tipe serenity denah lantai 1 |
|
tipe serenity denah lantai 2 |