13/XXXVIII 18 Mei 2009
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/18/ART/mbm.20090518.ART130316.id.html
Para Penerus Romo
Nama Romo Mangun masih sangat dikenal dan diidolakan para arsitek muda. Juga masih cukup banyak yang berkarya ala ”Romomangunisme”.
Judul buku itu menarik: Mimpi Rumah Murah. Penulisnya arsitek muda, baru 33 tahun, bernama Yu Sing. Sosoknya kecil dan kurus, berambut gondrong sebahu—sesekali disibakkan saat mengobrol. Namun semangatnya begitu besar. Jawabannya atas pertanyaan mengapa ingin membantu mendesain rumah murah terdengar ”dalam”. ”Itu salah satu jawaban pertanyaan untuk apa saya hidup,” katanya. Bahkan dalam penutup pengantar buku yang baru diterbitkan pada Maret lalu itu, Yu Sing menyatakan, ”Mimpi membantu desain sejuta rumah murah.”
Yu Sing adalah tipikal anak muda idealis. Dia punya kritik keras terhadap kondisi di sekitarnya, termasuk dunia arsitektur dan profesi arsitek. Lulusan Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung itu gusar benar terhadap anggapan publik bahwa jasa arsitek hanyalah ”hak” orang kaya. Orang menengah ke bawah, karena khawatir ongkos jasa arsitek membengkakkan biaya pembuatan rumah, emoh menggunakan jasa itu.
Seperti banyak arsitek lainnya, Yu Sing pun mengidolakan mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, arsitek dan budayawan yang akrab dipanggil Romo Mangun itu. ”Saya mengagumi konsistensi kehidupan dia. Dia mengerjakan apa yang dia katakan,” katanya. Untuk itulah ayah satu orang anak berusia sebelas bulan ini ingin mewujudkan ”mimpi” yang dia sebut itu. Dia mulai dari mendesain dan membangun rumah mungil, murah dan ramah lingkungan untuk keluarga kecilnya dan ibunya di daerah Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Ide yang dia sebarkan melalui tulisan di sebuah majalah arsitektur, blog pribadinya, milis arsitektur dan kemudian bukunya, ternyata membuahkan banyak sambutan. Klien menengah ke bawah dari berbagai daerah di Indonesia—termasuk dari Papua dan Kalimantan—menghubunginya, baik melalui email maupun telepon. Hingga kini Yu Sing sudah memiliki 40 klien yang ingin dibuatkan desain untuk rumah sederhana, meski sebagian besar bangunannya belum jadi. ”Ada yang meminta desainnya dahulu, karena belum punya cukup uang untuk membangun rumahnya,” kata Yu Sing, yang memiliki biro arsitektur Genesis, berkantor di sebuah rumah tua kontrakan di Jalan Semar, Bandung.
Klien pertama untuk rumah murahnya adalah paman dari kolega sekantornya. Yu Sing diminta merenovasi rumah yang tergolong tua—lebih dari 30 tahun—di kawasan Caringin, Bandung. Ternyata rumah tersebut tidak dapat sekadar direnovasi karena sudah sangat tua, sehingga harus dibongkar dan dibangun lagi. Namun 8090 persen bahannya masih bisa didaur ulang dan digunakan lagi. Rumah pun didesain sebagai rumah tumbuh, yang bisa dibangun bertahap sesuai dengan ketersediaan dana pemilik.
Rumah dibuat bertingkat dua, agar masih tersedia ruang terbuka hijau dan daerah resapan. Dinding dibangun dengan beton bertulang agar tahan gempa. Bahan fiber semen digunakan untuk atap, agar lebih murah. Atap pun didesain agar bisa menampung air hujan, yang melalui proses penyaringan sederhana, akan dapat digunakan lagi. Yang membuat rumah ini unik, bekas genting rumah lama dipakai untuk menutupi dinding batu bata rumah bangunan baru. Karakter warna acak pada genting menciptakan pola yang menarik.
Mendesain rumah murah—belum ada batasan yang pasti tentang rumah murah, tapi paling tidak ada kesepakatan nilainya di bawah Rp 300 juta—sebenarnya justru menjadi tantangan kreativitas para arsitek. Menurut Rudy Bachsin, 45, konsultan arsitektur, karena anggaran yang sangat terbatas, mencari bahan bangunan rumah murah itu merupakan tantangan tersendiri. ”Rumah murah bukan berarti rumah murahan,” kata pengagum arsitek Romo Mangun dan Bian Poen itu.
Makin menarik karena pembangunan rumah harus disesuaikan dengan karakter penghuninya. Menurut Rudy, tak peduli rumah tipe 35, 75, atau 900 meter persegi, intinya sama, yaitu menciptakan kenyamanan, juga bagaimana menjabarkan mimpi si pemilik rumah. ”Saya justru lebih tertantang dengan klien berbujet kecil, ketimbang yang besar,” kata arsitek yang biasa dipanggil Aseng itu.
Rudy sangat menyarankan penggunaan bambu untuk tiangtiang rumah dan kusen pengganti kayu. Bambu lebih ramah lingkungan, lebih mudah, lebih cepat tumbuh dibanding kayu. Lagi pula, si pemilik rumah bisa menanam bambu sendiri, sebagai pengganti bila yang lama rusak.
Untuk membangun rumah murah namun tak terkesan murahan, Rudy memadukan bambu untuk tiang dan kaca untuk dinding. Beton hanya digunakan untuk struktur dan fondasi, serta bagian tertentu rumah, seperti kamar mandi, toilet, dan dapur. Penggunaan jendela lebarlebar, selain membuat udara bebas bergerak, juga mengirit bahan bangunan. Ketika membangun studio untuk pelukis Hanafi di Depok, misalnya, untuk mengecat lantai semen, Aseng menggunakan karbon baterai bekas. ”Karbon kan tidak merusak kesehatan,” kata Rudy, yang kini tengah membangun Masjid Daun di kawasan wisata Gunung Salak, dengan menggunakan bambu dan atap terpal.
Soal keberpihakan pada klien ”orang kecil”, menurut beberapa arsitek yang ditemui Tempo, tidaklah terlalu sulit. Cukup banyak yang masih memiliki idealisme mendesain untuk rakyat kecil. Tapi kesempatan itu kadang sulit. Karena arsitek perlu klien dan lahan. Menurut Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Indonesia, Bambang Eryudhawan, ada temantemannya yang siap mendesain sekolah secara gratis, tapi kesempatan belum ada.
Itu semua mungkin diakibatkan oleh pandangan bahwa jasa arsitek memang mahal. Sehingga dibutuhkan gerakan seperti yang dilakukan Yu Sing, Rudy, dan yang lainnya untuk membuktikan, keberpihakan ke warga menengah ke bawah memang ada.
Yang lebih ekstrem adalah kelompok bernama Studio Habitat Indonesia. Organisasi nirlaba yang berafiliasi dengan lembaga swadaya masyarakat internasional di bidang penyediaan papan untuk kaum papa Habitat for Humanity ini sejak 2005 membantu membangun rumah murah (cost effective houses), dengan bujet di bawah Rp 40 juta, untuk rakyat. Selain memanfaatkan bahan lokal, juga tenaga kerja warga setempat, organisasi ini sudah menjalankan proyek seperti di Padalarang, Cimahi, Garut. Kini kelompok yang umumnya terdiri dari mahasiswa serta lulusan arsitek dan sipil ini akan menggelar sayembara rumah murah, akhir bulan ini.
Yang lucu, menurut Rendy Aditya, pengurus Studio Habitat, justru pandangan orangorang yang mereka bantu. ”Mereka memiliki konsep rumah seperti di sinetronsinetron televisi itu,” kata Rendy, lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung. Jadi, rumah itu harus ada ruang tamu di dalam, kamar tidur meski kecil dan hanya satu. Padahal, mereka lebih butuh satu ruang multifungsi—untuk berkumpul, bekerja, belajar, memasak— lalu kamar tidur, dan untuk menerima tamu cukup di teras saja. Ratarata, klien organisasi ini tidak memahami pentingnya sanitasi dan ventilasi yang baik. Kata Rendy, ”Meyakinkan mereka sungguh tidak mudah.”
Bina Bektiati, Ahmad Taufik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar