oleh Anas Hidayat*
dibatasi oleh ruang,
seekor katak di dalam sumur tidak akan pernah tahu apa itu samudera
dibatasi oleh waktu,
seekor serangga di musim panas tidak akan pernah tahu apa itu salju
tao the cing
Membaca tulisan Josef Prijotomo tentang tampilan arsitektur, ada sebuah pertanyaan yang membuncah: mengapa tampilan arsitektur yang meng-Indonesia masih belum menjadi “nafas” bagi arsitek-arsitek kita? Nafas di sini bukan sekedar menghirup-keluarkan angin dari paru-paru, tetapi kaitannya dengan hidup dan kehidupan. Mengapa darah-daging dan
Agaknya, mau dan ke-mau-an saja masih belum cukup untuk menjadi pendorong munculnya
Jika dilihat dari kacamata Martin Heidegger, arsitek-arsitek kita mayoritas berada dalam kondisi Cadangan. Apa yang dimaksud dengan Cadangan? bisa diterjemahkan sebagai kondisi yang tak memungkinkan orang berproses menemukan jatidiri. Kondisi Cadangan itu muncul karena mereka tidak berada dalam situasi dan kondisi yang tepat. Ibaratnya seperti singa yang berada di dalam kerangkeng. Wujudnya singa, dengan rambut yang berjumbai menyeramkan, masih memiliki jejak sebagai raja hutan. Tapi di dalam kerangkeng? Tak lebih dari badut. Anak-anak kecil tertawa-tawa di depannya, suara aumannya yang memecah kesunyian tak membikin ngeri sama sekali. Jika ingin makan tak perlu susah-susah berburu, para pawang memberinya daging segar setiap hari. Jika ingin kawin, betina disediakan di dalam
Demikian juga kondisi mayoritas arsitek-arsitek kita, seperti singa dalam kerangkeng. Kerangkengnya adalah prinsip-prinsip arsitektur Barat, pengetahuan arsitektur Global, yang tinggal ambil aja dari buku-buku, dari referensi-referensi. Tak perlu
Wowww, tampilan arsitektur yang meng-Global hanya tampilan tontonan. Lha wong tinggal santap.
Arsitek cadangan hanya melatih mata untuk memilih tampilan dan melatih otak untuk berpikir mana tampilan yang baik. Namun mereka tidak melatih hati untuk memper-hati-kan, tidak melatih rasa untuk me-rasa-kan, tidak melatih nalar untuk ber-nalar. Mengapa demikian? Karena dikurung oleh jeruji-jeruji yang memenjarakan dirinya. Dibatasi oleh kerangkeng, seorang arsitek cadangan tidak pernah tahu apa itu arsitektur yang sesungguhnya.
Lain dengan cadangan, keberadaan Otentik itu seperti singa yang berada di habitatnya, di hutan. Di
Demikian juga dengan arsitek
Singa otentik pasti cerdas, karena selalu berlatih untuk hidup dalam kondisi keras dan penuh persaingan di habitatnya. Demikian pula arsitek otentik, akan selalu cerdas untuk menelisik sekitar, memperhatikan apa kaitan keberadaannya dengan bumi tempat dia dilahirkan dan langit yang melingkupinya. Belajar tentang hal teknis dan non-teknis dalam arsitektur, belajar tentang yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Dengan kata lain, menjadi arsitek otentik itu belajar, sebuah perjuangan yang sering tidak mudah.
Mereka yang berada di kondisi cadangan, sebetulnya masih punya kemungkinan dan potensi untuk menjadi otentik. Hanya saja, keberadaan dalam kondisi cadangan yang terlalu lama akan mengikis potensi-potensi otentik, bahkan mematikan potensi itu.
/Gravitasi/
Jika toh upaya dan perjuangan untuk menjadi arsitek yang otentik mendapat banyak
Arsitektur Nusantara yang kebetulan sebagian besar ada di
Jadi, arsitektur Nusantara itu adalah ibu arsitektur kita. Ibu, yang sering digambarkan sebagai perempuan tua yang ringkih, tetapi energi besarnya mampu memanggil anak-anaknya untuk datang kepadanya. Mengapa? Karena ibu menjadi “asal” dari anak-anaknya. Anak-anak datang ke dunia lewat rahimnya. Dari situlah ibu mampu mendedahkan “rasa
Gravitasi arsitektur Nusantara masih memiliki simpanan energi cukup besar dan masih bisa membesar lagi. Gravitasi itu masih mampu membuat karya Yori Antar tampil meng-Ambon atau mem-Flores, membuat karya Edwin Nafarin tampil men-Candi Jawa Timur, membuat karya Popo Danes atau Putu Mahendra tampil mem-Bali atau men-Tropis, membuat karya MADcahyo tampil mem-Bata dan meng-Kayu, membuat karya Yu Sing tampil meng-Kampung atau me-Rumah Panjang, membuat karya Ridwan Kamil tampil meng-Aceh atau mem-Batik, membuat karya Eko Prawoto mem-Bambu dan men-Deso, membuat karya arsitek tahun 1950-an sampai 1960-an tampil men-Jengki dan seterusnya.
Gravitasi arsitektur Nusantara tidak akan berpengaruh jika si arsitek tidak berada di dalam gelombang energi yang sama dengan gravitasi itu. Bagaimana agar berada dalam gelombang yang sama? caranya dengan berupaya menjadi arsitek yang otentik. Seperti diungkapkan dalam puisi Rendra: langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa. Nah!
Jikalau toh pada akhirnya gravitasi tidak lagi mampu menarik arsitek untuk meng-Indonesia, harapan terakhir ada pada enantiodromia. Enantiodromia merupakan konsep dari Carl Gustav Jung, bisa digambarkan begini: dalam kondisi yang sangat ektrem atau berlebihan, justru yang akan muncul adalah lawan dari kondisi itu. Misalnya: jika anda senang kemungkinan besar akan tertawa, tapi jika anda berada dalam keadaan bahagia yang sangat, yang muncul justru tangisan. Cahaya yang normal membuat kita bisa melihat benda-benda dengan jelas, tapi cahaya yang berlebihan/ekstrem justru membutakan mata kita.
Ketika arsitek (baca: arsitek cadangan) membuat karya mem-bukanIndonesia atau meng-Global, anggap saja itu hal biasa. Kita tunggu saja sampai nanti ketika mereka membuat karya yang mem-bukanIndonesia atau meng-Global secara ektrem, bukan tidak mungkin yang muncul justru karya yang meng-Indonesia, bahkan lebih meng-Indonesia daripada yang pernah ada sebelumnya.
Perumpamaannya seperti kisah enantiodromik dari
*Anas Hidayat
arsiTEKS di REK - REpublik Kreatif
Saya memakai teori Heidegger dan Carl Gustav Jung dengan pertimbangan bahwa untuk membahas masalah tampilan arsitektur yang meng-Indonesia ini cukup dengan teori Heidegger atau Jung saja. Belum perlu menggunakan Jatimurti (sebuah kitab filosofi Jawa Nusantara), karena Jatimurti jauh lebih hebat daripada teori Heidegger dan Jung. Untuk menembak burung, saya hanya perlu meminjam senapan angin, belum perlu memakai meriam. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar