Gotong royong merajut bambu (di desa wanurejo dan tegal arum, borobudur) telah usai. Saya ikut mengucapkan rasa haru, penghargaan yang besar, dan terima kasih kepada semua relawan, sekitar 300 orang yang kebanyakan mahasiswa arsitektur, atas jerih lelah semangat keterlibatan teman-teman semua. Apa yang kita lakukan, seperti kata pak anies baswedan yang sempat berkunjung, mungkin saja titik yang penting bagi hidup kita kelak (saya gunakan kata ‘titik yang penting’ untuk mengganti kata ‘sejarah’ yang dipakai pak anies. Kata sejarah tidak akan terjadi bila merajut bambu berhenti sampai di sini saja). Saya yakin bahwa ini adalah awal mula mimpi besar dan tekad yang selama ini dibangun bersama.
Saya kira semua kita setuju betapa besar potensi desa yang kita kunjungi (begitu juga desa-desa lain yang pernah kita singgahi). Namun hampir selalu setiap kali berkunjung ke desa, kita melihat kemiskinan hadir sangat nyata di sana. Semangat masyarakat seperti terusik ketika kita hadir, dengan optimisme, karya dan upaya, berpikir, apa dan kenapa. Kenapa desa-desa penuh potensi alam, budaya, dan keramahan masyarakatnya terperangkap kemiskinan. Apa yang bisa kita pikirkan dan lakukan?
Berpikir saja untuk mereka, sebetulnya adalah tanggung jawab kita bersama. Semua kita adalah satu keluarga besar yang bhinneka. Sangat jarang kita (mahasiswa arsitektur, arsitek, dan dosen kampus arsitektur) terjun bersama bagi masyarakat. Pada saat itu kita telah tunggal ika! Tanpa sikap meninggikan diri. Atribut kita tanggalkan. Walaupun sulit mengukur isi hati, namun saya melihat kepentingan masyarakat menjadi yang utama dalam semua upaya yang bersama kita lakukan.
Bila saja ini menjadi titik awal yang terus menyebar, semua relawan membawa berita dan semangat ini ke tempat masing-masing, mengajak teman-teman lain berpikir dan berkarya apa dan kenapa, saya yakin perangkap kemiskinan itu bisa dibongkar. Masyarakat berbinar penuh semangat ketika berinteraksi dengan kita. Penuh harap. Namun kita sangat kurang berpikir dan berkarya apa dan kenapa itu tadi untuk mereka. Kampus-kampus yang penuh dengan orang-orang beruntung dapat menikmati pendidikan sampai tinggi, perlu kembali menjadi bhinneka tunggal ika. Bukan hanya menerima kebhinnekaan saja. Tapi berkarya bersama, tunggal ika, bagi keluarga besar bersama, masyarakat indonesia di mana saja.
Kegagalan upaya selama ini, saya melihat karena seringkali peran kita hanya sedikit, sesaat, sementara, lalu kita tinggalkan kembali. Kuliah kerja nyata misalnya. Belum bisa membongkar perangkap kemiskinan itu. Persinggungan kampus dengan masyarakat miskin lebih banyak berhenti di tulisan berjudul penelitian. Kita lebih suka berpikir tinggi-tinggi sampai langit, namun lupa bumi tanah kita berpijak penuh persoalan mendasar hidup sehari-hari.
Merajut bambu seribu candi ini, mudah-mudahan baru saja awal mula kebangkitan! Bangun dari tidur! Membuka mata kepedulian untuk merajut bambu-bambu masyarakat, demi membangun candi-candi kemandirian dan kekuatan membongkar perangkap kemiskinan. Ini adalah ujian kita! Konsistensi! Mendampingi masyarakat adalah tanggung jawab kita atas ilmu dan kesempatan pengalaman duduk di bangku kuliah. Ilmu yang hanya berguna untuk diri sendiri bukanlah ilmu. Upaya hidup hanya untuk diri sendiri bukanlah kodrat mahluk hidup.
Saya mengabarkan bahwa bapak-bapak penggagas merajut bambu seribu candi ini tidak mau berhenti sampai di sini. Upaya ini sedang dan harus diteruskan. Seringkali godaan untuk berbuat sedikit hal di banyak tempat berdatangan. Tetapi tantangan kita sesungguhnya adalah berbuat banyak hal di sedikit tempat saja dulu. Borobudur telah menyatukan bhinneka kita menjadi tunggal ika. Di sana kita perlu terus berupaya sampai meraih kemandirian dan kekuatan masyarakat. Upaya-upaya lain di tempat lain memang perlu juga ditebarkan benihnya atau siapkan tanahnya dulu sebelum ditanami. Tapi memelihara benih yang telah ditanam tidak boleh dilupakan. Pohon itu harus tumbuh sehat dan kuat.
Ingat saja ‘kampung kita’. Jaringan antar kampus dan komunitas yang telah dideklarasikan bersama untuk mendampingi kampung-kampung agar bisa memperoleh kelestarian dalam berbagai hal kehidupan. Ke kampung atau desa mana saja yang kita lalui atau singgahi, itu adalah kampung kita. Apa dan kenapa kita. Keluarga kita bersama. Kampung kita. Asal kita mau saja, lain-lain akan melengkapi mampu kita. Kembalinya teman-teman relawan ke kampus masing-masing,membawa virus-virus mau ini. Tularkan saja. Sebarkan. Mari kembali ke kampung kita. Dengan cara gotong royong seperti yang sering kita ucapkan. Sekarang mari sering-sering kita lakukan. Gotong royong! Untuk dan bersama kampung kita! Indonesia.
bandung, 5 mei 2012
yu sing
kepompong terbang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar