Oleh I Suharyo
Atmabrata. Kata ini saya lihat tertulis pada sekeping papan sederhana, tergantung di dinding depan sebuah bangunan sederhana di daerah Cilincing, Jakarta Utara.
Atma berarti ’jiwa’, brata punya berbagai macam arti, seperti ’janji’, ’sumpah’, ’laku utama’, ’pandangan’, dan ’keteguhan hati’. Namun, bagi yang bertanggung jawab atas rumah itu, atmabrata berarti ’jiwa yang hening’.
Apa pun arti kata itu, di rumah sederhana itu berpusat bermacam pelayanan, seperti rumah pendidikan, rumah kesehatan, rumah koperasi, dan rumah pangan. Semua dalam wujud yang amat sederhana, diperuntukkan bagi warga yang lemah, miskin, dan tersingkir, dilaksanakan oleh sekian banyak relawan yang dengan tulus ingin berbagi kehidupan.
Ketika saya bertamu, di rumah itu ada berbagai kegiatan: sekelompok warga mencuci sampah plastik yang akan didaur ulang, sejumlah ibu menerima penjelasan mengenai koperasi, dan dari dalam rumah itu berembus angin berbau masakan sedap karena ada tiga wanita yang sedang memasak. Untuk siapa? Mereka memasak dan mengantarkan masakan itu ke rumah 86 warga lanjut usia di wilayah itu, yang setiap hari menantikan kedatangan pembawa berkat berupa makan siang. Sama sekali tidak ada sekat-sekat di antara sekian banyak warga yang berkumpul di rumah itu.
Di wajah mereka terbaca suatu harapan untuk kehidupan yang lebih baik, lebih bersaudara, dan kegembiraan karena dapat saling membantu. Suatu pemandangan yang menyentuh hati. Sumbernya adalah atmabrata, jiwa yang teguh, jiwa yang hening, jiwa yang menjadi sumber laku utama. Amat berbeda dibandingkan dengan hiruk-pikuk kehidupan yang pada hari-hari ini sering terdengar, seperti berita tentang korupsi, teror bom, pembangunan gedung wakil rakyat, konflik, dan tawuran antarwarga.
Pimpinan rumah dan pendukung pelayanan di Atmabrata mengatakan, baik rumah maupun berbagai pelayanan itu diselenggarakan dengan amat sederhana agar tidak ada orang yang merasa takut masuk ke dalam lingkaran pelayanan ini. Mereka tampil sebagai kawan, bukan sebagai yang mempunyai kuasa atau memiliki lebih. Dalam kacamata Kristiani, komunitas Atmabrata adalah komunitas Paskah.
Persaudaraan
Dalam salah satu kisah Paskah yang berisi kisah penampakan kepada dua murid dari Emmaus (Luk 24:13-35), Yesus yang bangkit juga ditampilkan sebagai teman yang membangun persaudaraan. Menurut kisah itu, kematian Yesus jelas membuat kedua murid dari Emmaus ini sangat kecewa. Yesus yang mereka harapkan akan mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik mati dengan cara yang amat hina, seperti penjahat. Kepada kedua murid yang kecewa dan hatinya pahit ini, Yesus yang bangkit datang dan hadir sebagai kawan, ”berjalan bersama-sama dengan mereka” (Luk 24:15). Ia tidak menebak sok tahu perasaan hati mereka, tetapi bertanya, ”Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Ketika pertanyaan itu dijawab dengan nada yang merendahkan dan memusuhi, Yesus tetap membawakan diri sebagai kawan yang amat memahami suasana hati murid-murid yang gundah dan kecewa, yang tecermin dalam muka mereka yang muram (Ayat 17). Ia bertanya merendah, Apakah itu” (Ayat 19). Menyusullah suatu muntahan kekecewaan dari lubuk hati kedua murid itu, yang hanya dapat didengarkan dan dimengerti oleh seorang kawan (Ayat 19-24).
Rupanya muntahan kekecewaan yang didengarkan dengan terbuka itu mengubah pandangan kedua murid itu terhadap Yesus. Yang semula dianggap orang asing, mencurigakan, atau bahkan mungkin mengancam diterima sebagai kawan seperjalanan. Ketika Yesus sudah diterima sebagai kawan seperjalanan, kata-kata-Nya yang keras tidak lagi ditangkap sebagai penghinaan yang menyakitkan, tetapi sabda yang membuka mata (Ayat 31) dan membuat hati berkobar-kobar (Ayat 32).
Kedua murid itu mengalami Paskah sejati: semula muka mereka muram (Ayat 17), penuh kekecewaan yang menceraiberaikan. Perjumpaan dengan Sang Kawan ini membuat hati mereka berkobar-kobar (Ayat 32), penuh pengharapan. Selanjutnya, mereka kembali berkumpul dengan kawan-kawan mereka (Ayat 33) dan terbangunlah komunitas Paskah yang baru.
Mewujud
Paskah bukan sekadar upacara, juga bukan peristiwa masa lampau saja. Lilin Paskah yang dinyalakan setiap perayaan Paskah selalu diberi tanda tahun ketika Paskah itu dirayakan. Harapannya, agar warta Paskah diwujudkan dalam realitas sosial.
Dalam berbagai kesempatan, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengajak umat untuk selalu hadir bersahabat, terlibat dalam usaha membangun persaudaraan dan kesejahteraan bersama di tengah-tengah realitas masyarakat yang kompleks. Surat yang ditulis oleh para uskup dalam Sidang KWI, 12 November 2010, mengajak umat untuk melihat realitas kemiskinan yang, antara lain, disebabkan oleh belum tampaknya kebijakan politik dan ekonomi yang secara kasatmata berpihak pada orang kecil. Surat yang sama mengajak umat untuk menyadari bahwa sikap intoleransi yang dirasa semakin mencemaskan dan korupsi yang semakin berbau busuk dapat merusak kehidupan bersama dan persaudaraan di tengah masyarakat.
Kemiskinan, intoleransi, dan korupsi itu membuat hidup menjadi sangat kurang manusiawi. Di tengah-tengah realitas semacam itu umat Kristiani yang merayakan Paskah, baik secara pribadi maupun bersama-sama, ditantang untuk menjawab pertanyaan ini, ”Apa yang harus saya atau kita lakukan agar kehidupan bersama di lingkungan kita menjadi semakin manusiawi?” Menjawab pertanyaan ini berarti menghayati pesan Paskah. Bekerja sama menanggapi tantangan itu berarti membangun komunitas Paskah. Selamat Paskah!
I Suharyo Uskup Keuskupan Agung Jakarta
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/04574316/menjadi.kawan.membangun.persaudaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar