16.7.09

Tren Arsitektur 2009 ?

Setiap tahun mulai berganti, biasanya orang ramai-ramai membicarakan tentang tren. Orang ingin tahu apa tren terbaru tahun ini. Paling sering kita dengar adalah tren mode pakaian, rambut, atau warna. Ketika dengung tren tersebut mulai terdengar di berbagai media, maka banyak pula orang yang manut mengubah penampilannya agar terlihat lebih gaya, lebih trendi, tidak ketinggalan zaman. Lalu bagaimana dengan tren arsitektur? Seperti apakah kira-kira tren arsitektur di tahun 2009? Sebelum jauh-jauh bicara tentang tren arsitektur 2009, barangkali ada baiknya kita evaluasi terlebih dahulu tentang tren arsitektur itu sendiri.
Ada yang aneh sebetulnya dengan tren dalam arsitektur. Tren sebenarnya memiliki sifat sementara, singkat, sesaat, sebentar saja; sedangkan arsitektur atau bangunan akan berdiri dalam jangka waktu yang lama. Jadi sebetulnya tidak tepat kalau arsitektur itu dikategorikan ke dalam tren, karena sifatnya tidak seperti pakaian yang bisa dipakai cukup selama satu tahun atau tidak usah dipakai lagi bila sudah tidak sesuai dengan tren yang terbaru. Walaupun begitu, arsitektur memang belum lepas dari ikatan tren. Entah bagaimana mulainya arsitektur bisa bersanding dengan tren. Yang jelas ini bukan seperti pepatah ayam dulu atau telur dulu. Barangkali, lagi-lagi barangkali karena belum ada penelitian mendalam, ada peran pengembang properti bersama media, yang lebih dulu melahirkan istilah tren arsitektur.
Memang dengan adanya tren arsitektur, maka pengembang properti lebih mudah dan terarah dalam menjual produknya. Asal ikut apa kata tren itu, maka propertinya pasti laku. Begitu pula dengan media arsitektur. Dengan membahas tren arsitektur itu, maka medianya akan laku karena orang ingin tahu seperti apa tren arsitektur itu. Terlepas apakah makna yang disampaikan tentang tren itu benar atau keliru. Misalnya saja tren arsitektur minimalis yang masih hangat terdengar. Betulkah properti yang dijual dengan sebutan minimalis itu benar-benar minimalis? Ternyata lebih banyak yang keliru, walaupun memang ada juga pengembang properti yang memberikan pemahaman tentang minimalis dengan benar. Apa saja dapat dengan mudahnya disebut minimalis agar laku, walaupun sebetulnya sama sekali tidak minimalis. Dan anehnya lagi, ada masanya masyarakat memang bangga dan senang membeli properti yang sesuai dengan dengung tren arsitektur minimalis agar tidak dianggap ketinggalan zaman.
Tapi jika tadi sudah dijelaskan bahwa tren itu sifatnya sementara, singkat, sesaat, sebentar saja, maka sebentar lagi akan ada ratusan ribu atau mungkin jutaan pemilik properti atau bangunan yang akan ketinggalan zaman. Padahal tujuan awal membelinya justru karena tidak mau ketinggalan zaman. Lalu, apakah bangunannya akan dirubuhkan saja atau dijual lagi? Wah, kalau dirubuhkan pasti tidak mungkin. Selain masih baru, ini bangunan lho! Bukan pakaian yang bisa dengan mudah disumbangkan. Dijual pun barangkali kurang laku karena tidak sesuai lagi dengan tren terbaru. Nah, mulai jelas bukan bahwa arsitektur dan tren itu sesungguhnya tidak dapat disandingkan.
Dan yang menjadi korban bukan hanya pemilik properti, tetapi juga arsitektur itu sendiri. Ketika tidak sesuai dengan apa kata tren terbaru, maka seolah-olah arsitektur jenis itu sudah kurang bagus lagi. Minimalis akan (atau malah sudah) dianggap jelek, usang, ketinggalan zaman. Padahal makna minimalis itu sendiri pun belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Jadi, apakah arsitektur minimalis itu ada waktunya menjadi jelek? Sebetulnya tidak, ‘jelek’ itu ada hanya di dalam persepsi masyarakat yang keliru akibat menjadi korban istilah tren arsitektur. Arsitektur minimalis sebenarnya merupakan salah satu arus besar dalam sejarah arsitektur yang sudah ada sejak awal tahun 1900-an, bukan hasil rekayasa para pengembang properti yang sifatnya sementara. Jadi, orang yang membeli bangunan yang betul-betul minimalis karena betul-betul menyukainya atau sesuai dengan karakter dan gaya hidupnya, tidak usah kuatir dan tidak perlu mendengar apa kata ‘tren arsitektur’. Mulai sekarang kata tren dan arsitektur bila disatukan harus diberi tanda kutip, supaya tidak rancu dan menyesatkan. Karena setahu saya, tren dan arsitektur tidak pernah menikah, selama ini cuma dijodohkan saja, dan sebetulnya sama sekali tidak berjodoh karena berbeda kodratnya.
Nah, lalu apa “tren arsitektur” 2009 ? Tidak terlalu penting lagi, bukan? Tulisan ini bisa disudahi saja sampai di sini. Tapi…, sebetulnya masih ada hal yang cukup penting untuk direnungkan bersama. “Tren arsitektur” sebaiknya tidak lagi dijadikan patokan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah pencarian pemahaman yang lebih banyak dan lebih dalam tentang arsitektur sebagai langkah yang tepat bagi seluruh masyarakat, bukan hanya bagi para arsitek. Peran media arsitektur menjadi semakin penting untuk memberikan pemahaman yang lebih banyak, lebih mendalam, dan tentunya lebih benar tentang arsitektur yang sebetulnya memiliki cakupan sangat luas.
Dalam konteks arsitektur rumah tinggal, menerjemahkan karakteristik dan keunikan masing-masing pemilik rumah terhadap arsitektur rumahnya merupakan pilihan yang lebih tepat ketimbang sekadar mengikuti tren. Kebhinekaan karakteristik masyarakat Indonesia akan memperluas pilihan karakter arsitektur rumah tinggalnya. Kesempatan untuk menjadi diri sendiri melalui bentukan rumah masing-masing akan mendorong berkembangnya eksplorasi kekayaan arsitektur tanpa dibatasi oleh “tren arsitektur”. Kondisi lingkungan hidup global yang saat ini semakin rusak juga tentunya perlu disikapi. Hemat energi, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, selayaknya menjadi panduan sejak awal merencanakan desain rumah tinggal. Semakin lama hal-hal tersebut sebaiknya tidak akan lagi menjadi istimewa untuk dibicarakan, tetapi menjadi syarat mendasar yang seharusnya memang ada seperti halnya pencahayaan dan ventilasi alami. Semakin murah aplikasinya, maka akan semakin berkelanjutan dan lebih besar dampaknya terhadap bumi ini. Dengan biaya yang murah, akan semakin banyak orang yang mampu mengaplikasikan arsitektur berkelanjutan, dan itu secara otomatis mempercepat proses penyembuhan bumi yang sedang sakit ini. Semakin murah biaya untuk membangun, semakin banyak uang yang bisa disisihkan untuk perbaikan lingkungan lainnya yang lebih besar atau untuk kepentingan kemanusiaan lainnya. Walaupun sebetulnya mampu, tidak ada salahnya untuk berhemat dan mengurangi sedikit saja kemewahan nilai rumah tinggal. Seandainya saja setiap rumah (mewah) dapat mengurangi dan menyisihkan 10-25% dari nilai rumahnya bagi kepentingan lingkungan atau masyarakat yang kurang mampu, tentunya lingkungan hidup sehari-hari akan menjadi semakin indah dan nilainya menjadi jauh lebih besar daripada kemewahan yang didapatkan tanpa menyisihkan sebagian biayanya. Bukankah kota tempat kita hidup akan semakin indah dan menyenangkan untuk dihidupi bila kerusakan-kerusakan lingkungan yang telah ada dapat diperbaiki sedikit demi sedikit?
Masih ada lagi harta karun terpendam yang dapat menjadi pilihan bagi kemajuan arsitektur di Indonesia. Mungkin tidak ada yang menyangkal bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya yang dikelola dengan salah, sehingga rakyatnya menjadi miskin. Termasuk miskinnya penghargaan masyarakat terhadap kekayaan potensi nilai lokalitas arsitektur tradisional. Seandainya saja nilai-nilai dalam arsitektur tradisional Indonesia yang jumlahnya begitu banyak (yang mungkin paling banyak di dunia) menjadi sumber inspirasi bagi arsitektur masa kini! F.Silaban (salah satu arsitek besar di era Soekarno) pernah bilang bahwa pada arsitektur tradisional, bukan bentuknya yang diambil, tetapi pelajari jiwanya. Barangkali memang itulah sikap yang tepat untuk mengembangkannya, yaitu dengan melakukan adaptasi, bukan duplikasi atau replikasi.
Ciri-ciri fisik, makna filosofis, adaptasi terhadap iklim, material lokal, potensi alam, dan ornamen-ornamen tradisional, merupakan contoh serangkaian makna lokalitas yang masing-masing kekayaannya dapat menjadi sumber eksplorasi. Arsitektur bukanlah soal bentuk fisik semata. Bila kita kembali menggunakan mode pakaian sebagai contoh, maka proses adaptasi terhadap batik sudah sangat berhasil. Bahan batik yang tradisional dapat diaplikasikan ke dalam berbagai karya pakaian dengan mode terbaru yang begitu indah, dan batik saat ini jadi sangat dicintai oleh berbagai kalangan masyarakat. Padahal keindahan dan kekayaan batik sudah ada sejak dulu. Walaupun tidak sama sepenuhnya dengan arsitektur, namun kira-kira seperti itulah seharusnya adaptasi nilai-nilai lokal terhadap arsitektur masa kini. Tidak harus terlihat tradisional secara fisik, namun mengandung makna-makna lokal yang dapat ditelusuri asal muasalnya. Eksplorasi terhadap kekayaan nilai lokalitas Indonesia ke dalam desain arsitektur masa kini saya yakin akan dapat menghasilkan karya-karya arsitektur tingkat dunia.
27 november 2008,
yu sing