15.6.12

about yu sing


Yu Sing-architect|Indonesia




Yu Sing was born in Bandung, West Java, Indonesia in 1976. He graduated from Institut Teknologi Bandung in 1999, majoring Architecture Engineering. On that same year he began his career as an Architect by, along with a coleague, establishing Studio Genesis. Then, in 2008, he establish his own independent Architecture Studio called Akanoma (abbreviation of akar anomali; translated as “root of anomaly”). Akar anomali emphasize the studio’s commitment to constantly rooted in Indonesian context of cultures, potentials, and issues.  Yu Sing believes that Architecture is not a priviledge of the rich, instead Architecture should be able to immensely serve all social layers. Therefore, Sudio Akanoma commenced design for affordable houses, with a relatively lower design fee, so that the middle and lower income people may benefit a well-designed house.

While being a dinamic architect, Yu Sing actively writes in blogs and prints. And, in 2009, he published the book “Mimpi Rumah Murah”. He has also given many workshops and seminars in many Indonesian cities (s.a. Bandung, Yogyakarta, Pontianak, Banjarmasin, Lampung, Aceh), engaging students and young architects to cater architecture for all. Moreover, Yu Sing is open for public discussion through his blog, email and other social media accounts. In 2012, working with Prima Rusdi and Mandy Marahimin, via wujudkan.com crowdfunding, he initiated a phylantropic project “Papan untuk Semua” which works in people’s housing and public spaces reaching out to low income society.

Presented Architecture Workshops:

1.       Affordable Houses Design Workshop and Guest Lecture on Socializing Architecture, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 21-22 October 2009

2.       Architecture Course: Public Space Development in Urban Village (West Pamulang), Institut Teknologi Indonesia, 3-5 June 2011

3.       MAAN Mentok Tin Mining City: ‘Exile’ City as a Process Towards Unique and Specific Ecotourism, Mentok, Bangka Island, 20-28 July 2011

4.       Joint Design Studi Indonesia-Japan 2011, Design Intervetion for Sensible High Density Urban Kampung of Megacities, Department of Architecture Faculty of Engineering University of Indonesia, Research Institute of Humanity and Nature (RIHN) Kyoto, Chiba University, The University of Tokyo, Tokyo University of Science, 08-18 September 2011.

As member of Architecture Competition’s board of jury:

1.       Sayembara Rumah Rakyat 2009, Studio Habitat Indonesia, 2009.

2.   Sayembara Penataan Kampung Pinggir Kali Brantas, Malang, East Java area Architecture Students, 2010.

3.     Sayembara Rumah Murah Sehat, Rumah Ide Series and Gramedia Pustaka Utama, 2010.

4.      Sayembara Desain Rumah Tinggal di Kampung Kota, “Housing Solution for a Better Living at Pademangan”, Universitas Trisakti, 2010.

5.      Sayembara Balai Pekumpulan Warga Kampung Layur, Semarang, Universitas Katolik Soegiyapranata, Semarang, 2011.

6.     Sayembara Rumah Tropis Nusantara di Kampung Kota, Universitas Brawijaya, Malang, 2011.

7.       Laras Award 2011 (in absentia).

8.     Sayembara Penataan Pedagang Kaki Lima di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung, Universitas Parahyangan, 2015.

Awards:
2016.

  • Green Leadership Award from BCI Asia; work: Environmental Center Ocean Of Life Indonesia, Watu Kodok, Gunung Kidul, Yogyakarta.
2015.
  • 3rd Place, Citation Of Excellent Architectural Design Reflecting East Asian Identity; work: Wikasatrian (Wika Leadership Center)
  • Winner,  Holcim Awards Indonesia 2015 for Sustainable Construction; work: Ocean Of Life Indonesia, Watu Kodok, Gunung Kidul, Yogyakarta.
  • 2nd Place, Propan Desa Wisata Nusantara Competition; work: strategy concept for Desa Wisata Sembalun Lawang, Lombok, NTB.
  • Tempo Property Award (Hunian Ramah Lingkungan) 2015; works: Taman Tengah Griya Mitra Insani 2 Complex, Cibubur; Puzzle House, West Jakarta; Stilts House, Kelapa Gading, North Jakarta.
2012
  • Winner, Closed Competition (invitee) Wikasatrian (Wika Leadership Center), Pasir Angin, Gadog, Bogor.

2011.
  •  4th Place, Orangutan Research Station Design Competition, West Kalimantan


2010. 
  • 3rd Place, FuturArc Prize 2010 International Competition (A Prototype for Ecological Living): Oasis Social Housing.


2009.
  • Winner, Holcim Award Indonesia 2009 for sustainable Construction; work: Caringin Family ‘Village’ Improvement.
  • Winner, Center of Academic Building Design Competition, Universitas Negeri Makassar; work: Menara Phinisi.
  • Winner, no-reward competition (www.rujak.org); work: co-Housing: 1 house for 4 middle class families.

2008.
  • 5th Place, Universitas Gajahmada Academic Hospital Design Competition, Yogyakarta.
  • 3rd Place, Indogress Façade and Interior Design Competition, Tangerang.

2007.
  • Finalist, closed competition of BPK Penabur International School, Banda, Bandung.
  • 6th Place, Borobudur Park Design Competition, Jakarta; team: Oky Kusprianto
  • Winner, Jakarta Design Center Façade Design Competition.
  • Top 10, Rumah Ide façade Competition.

2006.
  • 3rd Place, Taman Rakyat Cimahi Design Competition

2004.
  • Winner, closed competition BPK Penabur International School, Bahureksa, Bandung.
  • 2nd Place, competition BPK Penabur International School, Singgasana Pradana, Bandung.

1999.
  • Winner, closed competition Gereja Kristen Indonesia Anugerah, Bandung; team: Yohan Tirtawijaya, Herjagus Kurnia, Anton Jo.




3.6.12

Gotong royong untuk dan bersama kampung kita, Indonesia.


Gotong royong merajut bambu (di desa wanurejo dan tegal arum, borobudur) telah usai. Saya ikut mengucapkan rasa haru, penghargaan yang besar, dan terima kasih kepada semua relawan, sekitar 300 orang yang kebanyakan mahasiswa arsitektur, atas jerih lelah semangat keterlibatan teman-teman semua. Apa yang kita lakukan, seperti kata pak anies baswedan yang sempat berkunjung, mungkin saja titik yang penting bagi hidup kita kelak (saya gunakan kata ‘titik yang penting’ untuk mengganti kata ‘sejarah’ yang dipakai pak anies. Kata sejarah tidak akan terjadi bila merajut bambu berhenti sampai di sini saja). Saya yakin bahwa ini adalah awal mula mimpi besar dan tekad yang selama ini dibangun bersama.

Saya kira semua kita setuju betapa besar potensi desa yang kita kunjungi (begitu juga desa-desa lain yang pernah kita singgahi). Namun hampir selalu setiap kali berkunjung ke desa, kita melihat kemiskinan hadir sangat nyata di sana. Semangat masyarakat seperti terusik ketika kita hadir, dengan optimisme, karya dan upaya, berpikir, apa dan kenapa. Kenapa desa-desa penuh potensi alam, budaya, dan keramahan masyarakatnya terperangkap kemiskinan. Apa yang bisa kita pikirkan dan lakukan?

Berpikir saja untuk mereka, sebetulnya adalah tanggung jawab kita bersama. Semua kita adalah satu keluarga besar yang bhinneka. Sangat jarang kita (mahasiswa arsitektur, arsitek, dan dosen kampus arsitektur) terjun bersama bagi masyarakat. Pada saat itu kita telah tunggal ika! Tanpa sikap meninggikan diri. Atribut kita tanggalkan. Walaupun sulit mengukur isi hati, namun saya melihat kepentingan masyarakat menjadi yang utama dalam semua upaya yang bersama kita lakukan.

Bila saja ini menjadi titik awal yang terus menyebar, semua relawan membawa berita dan semangat ini ke tempat masing-masing, mengajak teman-teman lain berpikir dan berkarya apa dan kenapa, saya yakin perangkap kemiskinan itu bisa dibongkar. Masyarakat berbinar penuh semangat ketika berinteraksi dengan kita. Penuh harap. Namun kita sangat kurang berpikir dan berkarya apa dan kenapa itu tadi untuk mereka. Kampus-kampus yang penuh dengan orang-orang beruntung dapat menikmati pendidikan sampai tinggi, perlu kembali menjadi bhinneka tunggal ika. Bukan hanya menerima kebhinnekaan saja. Tapi berkarya bersama, tunggal ika, bagi keluarga besar bersama, masyarakat indonesia di mana saja.

Kegagalan upaya selama ini, saya melihat karena seringkali peran kita hanya sedikit, sesaat, sementara, lalu kita tinggalkan kembali. Kuliah kerja nyata misalnya. Belum bisa membongkar perangkap kemiskinan itu. Persinggungan kampus dengan masyarakat miskin lebih banyak berhenti di tulisan berjudul penelitian. Kita lebih suka berpikir tinggi-tinggi sampai langit, namun lupa bumi tanah kita berpijak penuh persoalan mendasar hidup sehari-hari.
Merajut bambu seribu candi ini, mudah-mudahan baru saja awal mula kebangkitan! Bangun dari tidur! Membuka mata kepedulian untuk merajut bambu-bambu masyarakat, demi membangun candi-candi kemandirian dan kekuatan membongkar perangkap kemiskinan. Ini adalah ujian kita! Konsistensi! Mendampingi masyarakat adalah tanggung jawab kita atas ilmu dan kesempatan pengalaman duduk di bangku kuliah. Ilmu yang hanya berguna untuk diri sendiri bukanlah ilmu. Upaya hidup hanya untuk diri sendiri bukanlah kodrat mahluk hidup.

Saya mengabarkan bahwa bapak-bapak penggagas merajut bambu seribu candi ini tidak mau berhenti sampai di sini. Upaya ini sedang dan harus diteruskan. Seringkali godaan untuk berbuat sedikit hal di banyak tempat berdatangan. Tetapi tantangan kita sesungguhnya adalah berbuat banyak hal di sedikit tempat saja dulu. Borobudur telah menyatukan bhinneka kita menjadi tunggal ika. Di sana kita perlu terus berupaya sampai meraih kemandirian dan kekuatan masyarakat. Upaya-upaya lain di tempat lain memang perlu juga ditebarkan benihnya atau siapkan tanahnya dulu sebelum ditanami. Tapi memelihara benih yang telah ditanam tidak boleh dilupakan. Pohon itu harus tumbuh sehat dan kuat.

Ingat saja ‘kampung kita’. Jaringan antar kampus dan komunitas yang telah dideklarasikan bersama untuk mendampingi kampung-kampung agar bisa memperoleh kelestarian dalam berbagai hal kehidupan. Ke kampung atau desa mana saja yang kita lalui atau singgahi, itu adalah kampung kita. Apa dan kenapa kita. Keluarga kita bersama. Kampung kita. Asal kita mau saja, lain-lain akan melengkapi mampu kita. Kembalinya teman-teman relawan ke kampus masing-masing,membawa virus-virus mau ini. Tularkan saja. Sebarkan. Mari kembali ke kampung kita. Dengan cara gotong royong seperti yang sering kita ucapkan. Sekarang mari sering-sering kita lakukan. Gotong royong! Untuk dan bersama kampung kita! Indonesia.

bandung, 5 mei 2012
yu sing
kepompong terbang

kemewahan dari kesederhanaan dan ketulusan


Kemarin dan hari ini saya mengalami saat sangat istimewa. Di depan candi pawon, dekat candi borobudur, mata saya tertuju kepada rangka atap rumah dusun yang terbuat dari bilah-bilah bambu petung yang dipasang berdiri. Segera saja saya berkenalan dengan mas dhamar pemilik rumahnya. Bambu-bambu itu telah 20 tahun di sana, mas dhamar ikut merangkainya dan memasang bersama-sama warga satu rt. Gotong royong. Saya sama sekali tak menyangka, mas dhamar yang terlihat sangat muda, sudah berusia banyak kata istrinya, 40 tahun lebih.

Baru saja berkenalan, bersama pak paulus mintarga dan mas adi purnomo yang juga ikut kagum pada kaso bambu-bambu dan cara pemasangannya itu, mas dhamar bercerita lebih banyak tentang rumahnya dan mengajak kami masuk ke halaman lebih dalam. Di sana masih ada sumur senggot, sumur tua yang masih dipertahankan. Istimewanya sumur ini adalah tali timbanya tidak pakai tali, tapi pakai batang bambu yang sangat panjang sampai kira-kira 8 meter! Malah mungkin sampai 10 meter, engsel di ketinggian sekitar 4 meter dari tanah membuat keseimbangan timba bambu panjang itu menjadi ringan. Panjangnya bilah bambu itu menggantikan tali untuk menggantung ember seng sampai ke muka air sumur yang cukup dalam.

Air yang telah ditimba, diguyurkan ke dalam pipa bambu yang satu sisinya menempel tanah. Bambu itu jenis bambu ampel. Asal ujung bambu itu menyentuh tanah, bukan tertanam, maka bambu ampel masih terus hidup. Terlihat dari tunas-tunasnya yang tumbuh di batang pipa bambu itu. Luar biasa! Pipa bambu menjadi awet karena masih hidup, tidak mengering. Walaupun tiap hari diterpa sinar matahari dan dipakai untuk mengalirkan air yang dipakai untuk cuci kaki-tangan atau muka. Seperti hampir sama dengan pohon bambu yang masih hidup.

Di depan rumah ada 2 pohon kelapa seperti gerbang. Ternyata keluarga mas dhamar satu-satunya keluarga di dusun itu yang masih membuat gula kelapa. Kami dipersilakan mencicipi sambil disuguhi teh panas. Sambil masuk ke ruang makan melalui pawon/dapur. Pawonnya sangat sederhana. Seperti pawon rumah-rumah di dusun umumnya yang tidak genit ingin seperti kota. Lantai masih semen berdinding gedek bambu dan tungku-tungku tempat masak berjejer. Tungku-tungku tanah liat yang menggunakan kayu bakar itu sebagai tempat membuat gula jawa kelapa dan masakan-masakan lainnya.

Walaupun baru kenal, kami dipersilakan duduk di ruang makan di samping pawon itu. Teh panas gula kelapa ditemani cemilan rangginang, emping, dan gorengan. Kami dilayani seperti tamu terhormat di hotel mewah. Sambil bertanya-tanya, terungkaplah bahwa rumah dusun mas dhamar ini memang hotel mewah sangat mahal. Bukan hotel sesungguhnya. Tetapi menjadi tempat wisata tamu-tamu hotel amanjiwo yang harga kamarnya sebelas jutaan rupiah. Dan pawon sederhana itulah tempat romantic dinner nya! Berbagai tamu wisatawan asing telah menikmati makan malam romantis di pawon sederhana yang istimewa ini.

Entah bagaimana, begitu masuk ke sana, dengan keramah tamahan mas dhamar yang sangat luar biasa, kami langsung betah berlama-lama di sana. Diskusi penting kelanjutan kegiatan merajut bambu seribu candi, upaya kemanusiaan bersama relawan mahasiswa dan arsitek untuk berinisiatif mencari peluang membantu masyarakat dusun berkehidupan lebih baik, segera saja berlangsung di sana. Kesederhanaan yang sangat mewah. Dari pawon, menuju impian-harapan-tekad bagi kelestarian dan kesejahteraan dusun (-dusun di indonesia). Saat istimewa bersama pak josef prijotomo, pak eko prawoto dan ibu, pak galih widjil pangarsa, pak paulus mintarga, mas adi purnomo.

Borobudur, 29 april 2012
yu sing
pawon yang juga tempat romantic dinner

diskusi pawon

bekal bertukang

hari minggu kemarin kami gotong royong bersama warga untuk membangun instalasi media ruang balai ajar tegal arum (lihat catatan sebelumnya 'balai ajar tegal arum, panggilan borobudur'). Sejak pagi hari gotong royong dimulai dengan membersihkan lokasi dari pepohonan salak yang sudah tidak produktif. Halaman kebun milik salah seorang tokoh warga akan digunakan untuk manfaat yang lebih banyak. Balai ajar multifungsi untuk warga desa tegal arum borobudur. 

Setelah lahan siap lebih bersih, saya dan teman2 relawan arsitek dan kebanyakan mahasiswa arsitektur mulai proses membangun. Sebagian bambu-bambu di lokasi ternyata belum diawetkan sama sekali. Maka harus mengambil bambu-bambu terlebih dahulu di posko di desa wanurejo yang telah diawetkan secara sederhana dengan memberi campuran premium dan solar lalu dipanaskan. 

Warga ikut membantu. Relawan mahasiswa yang kebanyakan dari malang lebih banyak berperan dalam proses konstruksinya. Semula saya tidak yakin dan kurang puas karena tidak ada tukang yang mendampingi. Peran utama justru dilakukan oleh para mahasiswa. Saya terpaksa jadi mandor dadakan karena tidak bisa bertukang. 

Setelah diskusi, mengukur, memecahkan beberapa batang bambu, mencari sistem konstruksi lain, memilih bambu, mengikat, memotong, naik pohon, dan lain-lain, perlahan-lahan saya mulai terkagum. Teman-teman mahasiswa ini cukup hebat bertukang. Juga hebat berpikir mencari jalan keluar lagi ketika cara sebelumnya gagal dan alat-alat perlengkapan sangat kurang dan belum tersedia. 

Akhirnya kami sampai lembur melanjutkan konstruksi setelah beristirahat sejenak dan mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan. Tanpa mengeluh, bahkan lebih gesit dari siang hari, kami melanjutkan konstruksi sampai jam 1 dini hari tadi. Sebagian relawan mahasiswi juga ikut membantu mengawetkan bambu-bambu yang akan digunakan hari-hari selanjutnya. 

Bekal bertukang untuk mahasiswa arsitektur (juga mungkin sipil atau bahkan jurusan lainnya) saya rasakan sangat penting. Bila memang ingin memberikan banyak sumbangsih karya dan tenaga bagi masyarakat yang masih sangat membutuhkan bantuan, pendampingan, juga perhatian. Satu hal yang juga tidak terpikirkan, rumah-rumah warga di borobudur, situs penting salah satu warisan dunia, kebanyakan belum punya kamar mandi di rumahnya. Seorang warga yang punya kamar mandipun, rumahnya masih berlantai tanah yang tidak rata. Ini saya ketahui ketika menumpang buang air kecil di sana. 

Bekal bertukang ternyata didapat sebagian besar mahasiswa dari malang itu ketika ospek selama setahun (satu semester?) bekerja bakti di desa-desa. Arsitek bukan hanya bisa membuat karya besar, tetapi juga bisa membuat kehidupan yang lebih baik. Mahasiswa tidak hanya berdemo, tapi juga bergotong royong. Masyarakat kecil masih teramat banyak. Bantuan masih akan terus diperlukan. 

Terima kasih untuk teman-teman relawan yang kemarin ikut membantu. Mohon maaf kalau saya sempat menjadi mandor yang galak, berkali-kali salah sehingga sebagian proses konstruksi harus berulang-ulang, serta minta teman-teman untuk terus bekerja daripada bersantai sejenak menikmati kebersamaan di kebun. Suguhan pecel, gorengan, dan kelapa baru petik dari warga kemarin siang memberikan kesegaran dan menurunkan ketegangan saya sebelumnya. 

yogyakarta, 23 april 2012 
yu sing