29.10.13

air bersih

Lebih dari 2/3 bagian indonesia terdiri dari air laut. Belum lagi sungai2 danau2 situ2 rawa2 dan berbagai lahan basah lainnya. 2/3 bagian bumi juga berupa lautan. Demikian juga 55%-80% tubuh manusia terdiri dari air. Air kebutuhan vital kehidupan. Karena itu sang pencipta membuatnya lebih banyak dari daratan.

Sudahkah indonesia bertanggung jawab mengelola air untuk rakyatnya? Kita tahu banyak mata2 air sudah dijual kepada pembuat air minum kemasan. Sebagian perusahaan itu punya negara asing. Lalu rakyat dipaksa untuk membelinya karena negara tak menyediakan air bersih untuk semua rakyatnya. Rakyat tak lagi punya akses bebas terhadap mata airnya. Saya pernah membaca buku yang saya beli lalu hilang dan belum ditemukan, judulnya kalau ga salah alam tak seindah dulu lagi. Disaksikan bahwa untuk membuat pembangkit listrik bagi kota medan, proyek pembangkit menembus hutan, membuat jalan, menutup mata2 air warga desa yang mengering. Warga tak tahu mengeluh dan harus bagaimana. Hanya bisa mengirim anak2nya untuk berjalan kaki puluhan kilometer untuk mencari air yang dibawa dan tumpah2 di sepanjang jalan pulang. Sekolah? Jangan tanya, kapan bisa ambil air kalau harus sekolah?

Rakyat yang terus miskin (86 juta masih menerima jamkesmas) dibuat lebih miskin harus membeli air bersih yang vital bagi kehidupan. Rakyat yang tak mampu membeli hanya bisa konsumsi air kotor dan tubuh rela ditempati berbagai penyakit. Kemudian uang jamkesmas untuk mengobati penyakitnya yang tak kunjung sehat bugar. Sedikitnya setiap tahun 100.000 balita mati karena diare!

Di serpong, banyak sekali situ. Tapi dulu. Sekarang tanah-tanah diserpong dijual untuk dikeruk sebagai timbunan bagi perumahan2 mewah di sekitarnya. Tanah lapisan yang justru subur tak laku untuk timbunan karena banyak material lain selain hanya tanah. Dibuanglah tanah lapisan atas itu ke situ2 di serpong. Tertutuplah situ2 sumber air itu. Senanglah perumahan2 itu telah ditimbun dan bebas banjir. Rakyat kampung serpong bagaimana? 
 kampung di serpong yang tanah bawahnya dijual sebagai timbunan untuk lahan2 perumahan mewah di sekitarnya. lapisan tanah paling atas dibuang menutupi beberapa situ di sekitar sana. warga sulit melewati kampungnya sendiri karena jalanan penuh lumpur kalau hujan. tak peduli tetangga tak menjual tanahnya, persis di sebelah yang menjual bisa diambil tanahnya sampai kedalaman lebih dari 6m.

Lalu kita bisa apa?

Kita tentu saja menunjuk pada ilmuwan2, sarjana2, lembaga pendidikan yang dianggap lebih pandai dan berpengetahuan dari rakyat tak kuliah (hanya 4% penduduk indonesia lulusan sarjana). Sudah lebih dari 50 kali saya diundang ceramah, seminar, atau presentasi dan diskusi di berbagai kampus negeri dan swasta di berbagai daerah di sumatera, jawa, bali, kalimantan, sulawesi. Dan saya bisa menyimpulkan kampus2 itulah pembeli air minum kemasan. Konsumen terbesar. Bayangkan ada berapa puluh ribu mahasiswa dan staf pengajar di setiap kampus. Amat langka kampus yang menyediakan air bersih siap minum yang berasal dari penyaringan air. Secara tak langsung saya simpulkan, kampus2 itulah, lembaga pendidik bagi rakyat untuk membeli air minum kemasan! Rakyat contohlah. Dengarlah lembaga pendidikan tertinggi negara ini. Beli! Beli! Jangan kau minum air sungai kotor itu!


Tetapi pernah satu kali saya diundang untuk mengajar 50 guru2 sekolah swasta di medan tentang rumah dan belajar gaya hidup ramah lingkungan. Sekolah itu hanya terdiri dari 400 siswa saja. Tetapi sekolahnya sudah bisa menyediakan keran untuk air siap minum. Guru-guru membawa botol minuman masing2 untuk diisi ulang. Bahkan ada yang sampai membawa botol ukuran 2 liter. Tak mampukah ilmuwan2 di kampus2 bersiswa puluhan ribu orang membuatnya? Tak sanggup? Jelas tak mungkin. Tak mau? Mungkin. Eh..bukankah kampus2 itu juga menerima biaya dari pajak2 seluruh rakyat? Serendah itukah mentalitas kampus dan pendidikan di indonesia sehingga menyediakan air bersih untuk warga kampusnya saja belum mampu? Jangan tanyakan untuk rakyat di luar gerbang kampus!

 sekolah swasta nanyang medan dengan siswa 400 orang menyediakan fasilitas air minum untuk warga sekolahnya. saya lihat guru-guru membawa sendiri botol minum untuk diisi ulang. waktu itu hari libur, jadi saya tidak tahu bagaimana perilaku murid2nya. mudah2an juga sama seperti guru2nya

Hai mahasiswa, hentikanlah hanya jadi pembeli air minum kemasan! Mulailah minta kampusmu sediakan air bersih dulu. Air minum kemasan lah penyebab rakyat makin miskin dan bayi-bayi mati karena mata2 air terus berkurang dan tak cukup memenuhi kebutuhan rakyat. Negara malas dan hanya menerima upeti bayaran pajak dari perusahaan2 itu lalu dianggapnya selesai urusan penyediaan air bersih. Negara apa pantas kita sebut yang bahkan menyediakan air bersih saja tidak mampu? Negara besar? Negara kaya? Surga dunia? BANGUN!....mahasiswa...BANGUN! suarakan air bersih untuk rakyat. Jangan diam saja hanya karena kau mampu beli air minum kemasan lalu membuang begitu saja plastik2 kemasannya.


Di salah satu acara kampus di taman MTQ di kota kendari, bertebaranlah ratusan kemasan plastik air minum kemasan di lapangan parkir dan rumput. Ini pendidikan apa? Di kampus yang memiliki gedung paling tinggi di kota makassar, bertebaranlah berbagai jenis sampah di berbagai halaman dan penjuru gedung termasuk sampah air minum kemasan. Ini pendidikan apa?
 foto sampah2 (kemasan air minum) berserakan di lapangan MTQ dalam acara tentang menghemat listrik yang diadakan oleh kampus negeri di kota kendari

 foto sampah2 berserakan di salah satu kampus negeri di makassar

Setelah banyak masyarakat adat tak dapat lagi mata air bagian mereka, warga kampus berperilaku biadab mengotori bumi atas penderitaan rakyat miskinnya. PBB menyebutkan bahwa hanya 8% komunitas adat dunia yang memelihara 80% keanekaragaman hayati & kekayaan budaya dunia. Sementara kaum terpelajar di indonesia merusak kampusnya sendiri! Ada banyak kampus di indonesia yang berdiri di atas lahan basah yang dulunya air. Tapi saat ini air ditimbun untuk didirikan kampus. Kampus paling terkenal di surabaya salah satunya. Timbun saja. Lebih mudah. Air? Acuhkan saja. Hujan? Acuhkan saja. Tidak usah ditampung kelola. Banjir? Itu rakyat, bukan area kampus. Biarkan saja. Air bersih?  BELI! Belilah wahai rakyat ke perusahaan asing yang lebih pintar dan jumlah penduduk pembeli air minum kemasannya jauh lebih sedikit dari kita.

rumah petani sederhana di dekat pantai watu kodok, gunung kidul yang menampung air hujan dari atap rumahnya untuk kebutuhan sehari-hari. volume bak penampungan sekitar 10 m3.

Bahkan di negara yang penuh hujan seperti ini saja air bersih tak tersedia cukup. Jangan tanya ke mana pemerintah. Jangan tanya ke mana pemimpin. Tapi wahai rakyat dan mahasiswa, diam sajakah terus kita? Jahit saja mulut kita? Air adalah kehidupan. Sudahkah kita mati?

(catatan ini atas penyadaran teman yang juga klien kami (studio akanoma) dari lembaga pendidikan lingkungan bernama ocean of life indonesia)
(mari juga terus dukung walikota bandung saat ini yang juga sudah mulai menyentuh aspek penyediaan air bersih bagi rakyat bandung)

cimahi, 29 oktober 2013


yu sing


26.10.13

perencanaan kawasan Universitas Negeri Makassar kampus pettarani

masterplan kampus barat-timur UNM jalan pettarani
asistensi ke-2, 14-15 desember 2010.

setelah kami, tim akanoma memenangkan sayembara gedung pusat akademik 17 lantai, menara pinisi,
rektor UNM memanggil saya. Bakal ada beberapa gedung yang akan dibangun kemudian setelah menara pinisi. Dalam beberapa kali pertemuan, akhirnya saya menyarankan agar sebaiknya UNM punya masterplan/perencanaan kawasan terlebih dahulu sebelum memulai pembangunan gedung berikutnya.
Perencanaan kawasan akan menjadi panduan pembangunan berikutnya agar tidak keliru menempatkan bangunan dan juga sesuai dengan rencana jangka panjang prediksi pengembangan UNM.
Di banyak kasus di Indonesia, banyak fasilitas pemerintah seperti kampus yang terbangun tanpa perencanaan kawasan sehingga sering bangunan dibongkar pasang tanpa panduan yang jelas. Rektor setuju, dan mempercayakan akanoma untuk mengerjakan perencanaan kawasan kampus barat dan timur pettarani.

 tapak eksisting UNM pettarani, bagian putih adalah lahan menara pinisi yang waktu itu sedang dibangun.
 Beberapa bangunan eksisting dipertahankan, tetapi sebagian terpaksa dibongkar. Luas lahan kampus yang ada di tengah kota ini memang tidak cukup luas. Beberapa gedung yang sudah lama akan diganti oleh bangunan yang lebih tinggi agar pemanfaatan lahan lebih efektif.

area parkir diupayakan saling bersambung antara 1 gedung dengan gedung lainnya. sebagian bangunan area parkir masuk ke bawah tanah (basement).
ruang terbuka merupakan hal yang penting untuk berbagai aktivitas sosial penghuni kampus, juga membuat iklim mikro kampus menjadi lebih nyaman. bangunan juga direncanakan tipis agar semua ruangan mendapatkan pencahayaan dan ventilasi alami.


ilustrasi perspektif kawasan kampus timur


 ilustrasi gedung pasca sarjana di kampus barat
ilustrasi perspektif kampus barat dan timur
ilustrasi jalan di dalam kampus dan kolam penampungan air hujan

tampak kampus barat
dialog antara gedung pasca sarjana 12 lantai di kampus barat dan menara pinisi 17 lantai di kampus timur
tampak kampus barat dan timur


tim desain: yu sing, reza prima, benyamin narkan, iwan gunawan
makassar, 26 oktober 2013
yu sing


11.10.13

rumah

Indonesia itu kaya. Katanya. Konon. Dan rakyatnya miskin. Ini pasti.

Tercatat 96 juta rakyat Indonesia harusnya menerima jaminan kesehatan masyarakat dan baru terpenuhi 86 juta orang. Biro Pusat Statistik punya hitungan lain. Hanya 29 jutaan orang yang miskin dengan patokan biaya hidup < Rp 212.000,- per bulan. Itu sih bukan miskin. Tapi sangat miskin! Bahkan yang sangat miskin itupun jumlah sedikit lebih banyak dari seluruh warga negara Malaysia tetangga kita!

Rumah. Kebutuhan dasar. Yang sekarang digadang2 sebagai barang (mewah) investasi. semakin dijual sebagai investasi, harga semakin naik tidak karuan. Pembeli rumah kebanyakan yang sebelumnya sudah punya rumah, tapi ingin investasi. Yang belum punya rumah makin sulit punya rumah. Tidak terjangkau. Rakyat miskin mana bisa investasi? Rumah bukan barang investasi. Rumah itu kebutuhan dasar. Papan. Masih ingat sandang, pangan, papan? Itu loh, 3 kebutuhan primer atau dasar manusia yang lewat buku sekolah keluaran pemerintah kita waktu kecil disuruh menghafal. Tapi apa kita memang bodoh? Negara apakah boleh kita sebut yang sampai hari ini tidak bisa menyediakan kebutuhan dasar bagi rakyatnya?

Dulu, bahkan mungkin sebelum ada negara resmi Republik Indonesia, rakyat yang tinggal di tanah nusantara sudah punya rumah. Ya mereka tidak miskin. Kalau ukurannya kebutuhan dasar. Papan. Rumah-rumah mereka bisa bangun sendiri. Material diambil dari hutan atau lingkungan sekitar mereka. Tidak sedikit kita lihat dan dengar berbagai ritual masyarakat adat ketika mengambil sesuatu dari alam. Mereka bersyukur pada alam yang menyediakan. Mereka memelihara alam. Mengambil seperlunya. Sekarang kita kenal rumah-rumah tradisional yang ingin semuanya kita lestarikan. Beragam.  Indah. Nyaman. Vernakular. Sangat ramah lingkungan. Lestari.

Demikian pula sandang. Mereka bisa membuatnya sendiri. Pakai sesuai yang mereka perlukan. Termasuk juga kain-kain tenun. Sekarang pun kita masih bisa melihat karya2 tangan mereka yang luar biasa indah. Pangan. Mereka menanam. Memelihara. Bekerja. Berburu. Dan menikmati hasilnya. Tanpa pupuk-pupuk kimiawi perusak tanah dan pembuat penyakit bagi tubuh manusia.

Dulu, rakyat nusantara sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Ya, mereka tidak miskin. Kaya. Sekarang. Mereka miskin.. atau dimiskinkan? Sengaja disebut bodoh dan miskin? Dan ditipu pula. Rumah adalah tembok (bata). Kayu bukan rumah. Bambu bukan rumah. Itu sementara. SEMENTARA! Mau punya rumah? Beli! Lantai pakai keramik. Jangan tanah. Rumah jangan panggung. Urug saja rawa-rawa dan lahan-lahan basah. Dirikan rumah di atas tanah. Tapi pakai keramik. Beli semen. Beli atap. Kayu? Bambu? Jangan...awas rayap. Awas, potong kayu itu salah!...Hutan milik negara. Milik pemerintah tepatnya. Tergantung siapa yang memerintah. Yang suka makan kayu, maka kayu habis. Yang suka makan emas, maka emas habis. Yang suka makan air, maka air habis dijual. Rakyat tak dapat air bersih. Beli! Air harus beli. Pakai kemasan steril. Diambil dari mata air terbersih. Yang sudah negara jual. Dan sekarang rakyat harus beli.

Terjadilah. Rumah-rumah seragam di seluruh indonesia. Rumah tembok berlapis semen. Berlapis keramik pula. Dan jendela pakai engsel pabrikan. Dari aceh sampai papua. Dari sabang sampai merauke. Dari miangas sampai pulau rote. Tak peduli pabrik semen ada di mana. Tak peduli pabrik keramik ada di mana. Milik siapa. Tak peduli dibeli dari negeri mana. Beli! Maka kau punya rumah.

Tak punya rumah? Kalian emang miskin! Tak mampu beli rumah. Rakyat dimiskinkan. Tak mampu beli rumah. Ketika membangun rumah sudah lupa dan tak sanggup. Ketika alam sudah tidak dipelihara. Kayu-kayu sudah dimakan penguasa. Bambu hanya alat membangun sementara. Daun...ah, bakarlah itu. Itu bukan atap. Rakyat mulai makan semen. Makan keramik. Makan engsel.

Mulailah ketergantungan. Bukan narkotika....bukan...tapi semen, keramik, engsel. Kadang seng. Kadang paku. Kadang baja. Tak mampu beli semen dan baja, tapi sakau ingin rumah tembok bata. Lupakan sejenak kolom beton, kayu sudah lupa, bangunlah rumah tembok bata. Datanglah gempa. Hancurlah rumah. Gemparlah dunia. Orang miskin harus dibantu. Negara miskin harus dibantu. Ini, beli baja ringan. Beli dinding GRC. Beli gypsum. Beli kusen seolah-olah kayu. BELI!

Apa kata pemerintah? Kayu dan bambu bukan rumah. Tidak permanen. Sementara. Ini kami kasih rumah sementara. Rumah bambu. Nanti rusak, lalu belilah rumah! Beli! Tuh lihat dari luar negeri. Hebat bukan? Anti rayap. Anti karat. Beli! Kalau bangun rumah bukan pakai semen dan tembok, kalian gak bisa dapat kredit dari bank. Maka, lupakanlah yang dulu-dulu. Pakai, beli yang sekarang. Hutan itu milik pemerintah. Tergantung siapa yang memerintah. Sekarang rakyat tahu. Pemerintah suka makan kayu. Dan pakai kayu itu salah.

Tapi sebentar. Lupakan pemerintah. Ingat masa indah dulu. Kita tidak miskin bukan? Dulu kita tak peduli ada pabrik semen, pabrik keramik, baja, engsel, dan segalanya itu. Kita tak pernah dengar kata industri. Memang dulu tak ada pabrik ini itu. Sekarang kita tahu. Industri kita sebetulnya alam kita. Milik Sang Pencipta. Yang menitipkannya untuk kita pelihara, pergunakan, dan lestarikan. Pemerintah kita adalah Sang Pencipta pemberi hidup dan kehidupan. Ya kita TIDAK MISKIN! Kita kaya! Tak pernah kekurangan.
Tanah kita tanah surga. Bukan milik kita. Tapi harus kita kelola untuk semua mahluk. Dan kita bisa punya rumah. Dulu kita juga punya rumah. Orang ambon punya banyak sekali pohon sagu. Yang ditanam lalu tumbuh terus beranak pinak seperti pohon pisang. 1 pohon sagu cukup untuk makan 3 bulan 1 keluarga. Kayu, pelepah daun, & daunnya bisa untuk lantai dinding dan atap. Malah ada masjid wapauwe di maluku yang dibangun tahun 1414 pakai kayu sagu. Jembatan di sangihe, sulawesi utara pakai kayu sagu untuk tulangan betonnya. Sekarang, orang ambon mau makan sagu harus pergi ke restoran di ambon. Pohon sagu ditebang-tebang.

Miskin. Ya kita miskin. Karena kita pembeli. Alam kita lupakan. Menanam kita ga sempat. Kita ingin seragam. Alam indonesia yang menyimpan potensi sangat beragam sudah terlupakan. Rumah kita tak punya. Beli pun susah. Kita menonton. Kita lupa, Sang Pencipta menitipkan alam. Kita dan alam saling bergantung, atas kuasa Sang Pencipta. Mari kembali pelihara. Tanam. Pakai. Temukan. Belajar kembali. Kalau kita perlu alam, yang memberi kenikmatan, kita akan memeliharanya. Sesuai potensi masing-masing. Alam rumah kita. Tak perlu dibuat sama.

Sebentar, dimanakah arsitek?

studio akanoma, padalarang, 11 oktober 2013

yu sing