20.5.11

/Cadangan/Otentik/Gravitasi/Enantiodromia/

oleh Anas Hidayat*

komentar atas Tampilan Arsitektur

dibatasi oleh ruang,

seekor katak di dalam sumur tidak akan pernah tahu apa itu samudera

dibatasi oleh waktu,

seekor serangga di musim panas tidak akan pernah tahu apa itu salju


tao the cing

Membaca tulisan Josef Prijotomo tentang tampilan arsitektur, ada sebuah pertanyaan yang membuncah: mengapa tampilan arsitektur yang meng-Indonesia masih belum menjadi “nafas” bagi arsitek-arsitek kita? Nafas di sini bukan sekedar menghirup-keluarkan angin dari paru-paru, tetapi kaitannya dengan hidup dan kehidupan. Mengapa darah-daging dan tulang-sungsum para arsitek kita, juga hati, otak, rasa dan nalarnya bisa dicekoki oleh arsitektur yang meng-Global dengan sukses? Jika memang demikian, kondisinya sudah bisa dikatakan kritis. Dan kalau sudah kritis, obatnya bukan lagi balsem atau minyak angin, tapi harus tablet dosis tinggi. Jangan lagi hanya dihimbau atau disindir, harus dijembreng matanya agar mengerti dan paham bahwa berarsitektur itu sebuah perjuangan, bukan asal corat-coret dan dibangun, lalu selesai.

Agaknya, mau dan ke-mau-an saja masih belum cukup untuk menjadi pendorong munculnya tampang yang meng-Indonesia. Mungkin banyak yang mau, banyak yang berniat, banyak yang berencana, tapi tidak tahu harus bagaimana melakukannya? Menurut hemat saya, kadang-kadang dalam keadaan tidak tahu dan gamang, yang menjadi pertanyaan adalah: berani atau tidak? Bahkan bisa ditambahi: wani nekad ta gak? (berani nekad atau tidak?). Banyak momen-momen penting dalam sejarah yang diawali dari nekad, seperti kemerdekaan Republik Indonesia dan Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kalau dalam arsitektur, munculnya Candi Borobudur dan Prambanan, munculnya Tongkonan atau Omonifolasara, atau munculnya arsitektur Jengki, tak lepas dari ke-nekad-an. Dalam cerita-cerita rakyat lebih dramatis lagi, Bandung Bondowoso dan Sangkuriang berani bikin seribu candi dalam semalam, nekadnya edan-edanan.

/Cadangan/

Jika dilihat dari kacamata Martin Heidegger, arsitek-arsitek kita mayoritas berada dalam kondisi Cadangan. Apa yang dimaksud dengan Cadangan? bisa diterjemahkan sebagai kondisi yang tak memungkinkan orang berproses menemukan jatidiri. Kondisi Cadangan itu muncul karena mereka tidak berada dalam situasi dan kondisi yang tepat. Ibaratnya seperti singa yang berada di dalam kerangkeng. Wujudnya singa, dengan rambut yang berjumbai menyeramkan, masih memiliki jejak sebagai raja hutan. Tapi di dalam kerangkeng? Tak lebih dari badut. Anak-anak kecil tertawa-tawa di depannya, suara aumannya yang memecah kesunyian tak membikin ngeri sama sekali. Jika ingin makan tak perlu susah-susah berburu, para pawang memberinya daging segar setiap hari. Jika ingin kawin, betina disediakan di dalam kandang.

Demikian juga kondisi mayoritas arsitek-arsitek kita, seperti singa dalam kerangkeng. Kerangkengnya adalah prinsip-prinsip arsitektur Barat, pengetahuan arsitektur Global, yang tinggal ambil aja dari buku-buku, dari referensi-referensi. Tak perlu susah-susah mencari tampilan, tampilan arsitektur yang meng-Global seperti daging segar yang siap santap. Tapi apa jadinya? Hanya menjadi arsitek tontonan di dalam kerangkeng yang dibangun sendiri.

Wowww, tampilan arsitektur yang meng-Global hanya tampilan tontonan. Lha wong tinggal santap. Jika Mohammad Nanda Widyarta menyatakan bahwa mahasiswa arsitektur/calon arsitek terlalu terpaku pada hal yang teknis dan kurang mengetahui tentang yang non-teknis, itu betul adanya. Seekor singa cadangan hanya tahu teknis makan, hanya tahu makan daging yang banyak dan kenyang. Seekor singa cadangan tidak pernah belajar hal-hal non-teknis, seperti: di musim kemarau, di mana banyak mangsa bisa ditemukan? Hutan yang seperti apa yang paling ideal untuk berburu mangsa?

Arsitek cadangan hanya melatih mata untuk memilih tampilan dan melatih otak untuk berpikir mana tampilan yang baik. Namun mereka tidak melatih hati untuk memper-hati-kan, tidak melatih rasa untuk me-rasa-kan, tidak melatih nalar untuk ber-nalar. Mengapa demikian? Karena dikurung oleh jeruji-jeruji yang memenjarakan dirinya. Dibatasi oleh kerangkeng, seorang arsitek cadangan tidak pernah tahu apa itu arsitektur yang sesungguhnya.

/Otentik/

Lain dengan cadangan, keberadaan Otentik itu seperti singa yang berada di habitatnya, di hutan. Di sana, dia benar-benar menjadi raja yang sesungguhnya. Tidak seperti singa dalam kerangkeng yang menjadi badut tontonan, singa di hutan akan membikin ngeri orang yang bertemu dengannya, mendengar aumannya saja pasti orang akan lari terkencing-kencing. Konsekuensinya, setiap hari dia harus berburu mangsa untuk makan, harus memperhatikan musim dan tahu pergerakan mangsa, harus bertarung dengan sesama singa untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan kehidupannya. Singa otentik adalah singa yang menemukan dirinya sebagai singa, bukan sebagai badut.

Demikian juga dengan arsitek Indonesia yang otentik, yaitu arsitek Indonesia yang tak lelah untuk meng-Indonesia, memunculkan tampilan yang meng-Indonesia. Karena habitatnya di Indonesia, sudah selayaknya melatih seluruh kemampuannya untuk berproses menemukan ke-Indonesia-an. Bukan hanya dengan mata dan otak, tapi juga dengan hati, rasa dan nalar. Jika Iswanto Hartono menyatakan bahwa alam yang tropik-lembab mempengaruhi tampilan, memang demikian. Dan bukan hanya itu, termasuk kondisi kepulauan, banyaknya gunung berapi, tongkat kayu yang bisa jadi tanaman, semua itu berpengaruh pada tampilan arsitektur.

Singa otentik pasti cerdas, karena selalu berlatih untuk hidup dalam kondisi keras dan penuh persaingan di habitatnya. Demikian pula arsitek otentik, akan selalu cerdas untuk menelisik sekitar, memperhatikan apa kaitan keberadaannya dengan bumi tempat dia dilahirkan dan langit yang melingkupinya. Belajar tentang hal teknis dan non-teknis dalam arsitektur, belajar tentang yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Dengan kata lain, menjadi arsitek otentik itu belajar, sebuah perjuangan yang sering tidak mudah.

Mereka yang berada di kondisi cadangan, sebetulnya masih punya kemungkinan dan potensi untuk menjadi otentik. Hanya saja, keberadaan dalam kondisi cadangan yang terlalu lama akan mengikis potensi-potensi otentik, bahkan mematikan potensi itu. Ada singa yang terlalu lama dalam kerangkeng, ketika dilepas ke habitatnya justru mati. Persis seperti yang dikatakan Yu Sing: tertatih-tatih karena tidak terlatih. Maka, berlatihlah tanpa henti untuk menjadi otentik, untuk meng-Indonesia.

/Gravitasi/

Jika toh upaya dan perjuangan untuk menjadi arsitek yang otentik mendapat banyak tantangan dan hambatan, dan keberadaan arsitek cadangan masih dominan, maka kita masih bisa berharap pada gravitasi arsitektur Nusantara-Indonesia. Gravitasi adalah gaya tarik yang dimiliki oleh benda-benda berukuran sangat besar (misalnya planet, bintang-bintang), sehingga bisa menarik benda-benda yang lebih kecil agar tetap menempel atau mengorbit pada benda besar itu.

Arsitektur Nusantara yang kebetulan sebagian besar ada di Indonesia, dibangun dari tradisi arsitektur besar dari masa lalu dan terus berkembang ke masa kini. Kebesarannya bukan main-main, setanding dengan kebesaran arsitektur Barat, hanya saja banyak yang belum mengakui atau belum mengetahui. Kebesaran itulah yang membuat arsitektur Nusantara memiliki energi besar untuk menarik para arsitek dan pemerhati arsitektur Nusantara.

Jadi, arsitektur Nusantara itu adalah ibu arsitektur kita. Ibu, yang sering digambarkan sebagai perempuan tua yang ringkih, tetapi energi besarnya mampu memanggil anak-anaknya untuk datang kepadanya. Mengapa? Karena ibu menjadi “asal” dari anak-anaknya. Anak-anak datang ke dunia lewat rahimnya. Dari situlah ibu mampu mendedahkan “rasa kangen, rasa rindu” pada anak-anaknya untuk pulang, menengok kampung halaman, haribaan ibu pertiwi.

Gravitasi arsitektur Nusantara masih memiliki simpanan energi cukup besar dan masih bisa membesar lagi. Gravitasi itu masih mampu membuat karya Yori Antar tampil meng-Ambon atau mem-Flores, membuat karya Edwin Nafarin tampil men-Candi Jawa Timur, membuat karya Popo Danes atau Putu Mahendra tampil mem-Bali atau men-Tropis, membuat karya MADcahyo tampil mem-Bata dan meng-Kayu, membuat karya Yu Sing tampil meng-Kampung atau me-Rumah Panjang, membuat karya Ridwan Kamil tampil meng-Aceh atau mem-Batik, membuat karya Eko Prawoto mem-Bambu dan men-Deso, membuat karya arsitek tahun 1950-an sampai 1960-an tampil men-Jengki dan seterusnya.

Gravitasi arsitektur Nusantara tidak akan berpengaruh jika si arsitek tidak berada di dalam gelombang energi yang sama dengan gravitasi itu. Bagaimana agar berada dalam gelombang yang sama? caranya dengan berupaya menjadi arsitek yang otentik. Seperti diungkapkan dalam puisi Rendra: langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa. Nah!

/Enantiodromia/

Jikalau toh pada akhirnya gravitasi tidak lagi mampu menarik arsitek untuk meng-Indonesia, harapan terakhir ada pada enantiodromia. Enantiodromia merupakan konsep dari Carl Gustav Jung, bisa digambarkan begini: dalam kondisi yang sangat ektrem atau berlebihan, justru yang akan muncul adalah lawan dari kondisi itu. Misalnya: jika anda senang kemungkinan besar akan tertawa, tapi jika anda berada dalam keadaan bahagia yang sangat, yang muncul justru tangisan. Cahaya yang normal membuat kita bisa melihat benda-benda dengan jelas, tapi cahaya yang berlebihan/ekstrem justru membutakan mata kita.

Ketika arsitek (baca: arsitek cadangan) membuat karya mem-bukanIndonesia atau meng-Global, anggap saja itu hal biasa. Kita tunggu saja sampai nanti ketika mereka membuat karya yang mem-bukanIndonesia atau meng-Global secara ektrem, bukan tidak mungkin yang muncul justru karya yang meng-Indonesia, bahkan lebih meng-Indonesia daripada yang pernah ada sebelumnya.

Perumpamaannya seperti kisah enantiodromik dari Paulus atau Umar bin Khottob. Paulus awalnya adalah penganiaya yang kejam terhadap orang-orang Kristen, namun pada akhirnya dia berbalik menjadi penyebar ajaran Yesus yang paling gigih. Sama dengan Umar bin Khottob, yang merupakan penentang Muhammad dan bahkan pernah akan membunuh Muhammad, akhirnya berbalik menjadi pengikut dan pembelanya yang paling setia dan berani. Kalau menurut Profesor Johanes Surya yang fisikawan itu, butuh kondisi “mestakung” (semesta mendukung) yang memungkinkan terjadinya sebuah peristiwa penting, termasuk enantiodromia tampilan arsitektur. Bisa saja minggu depan ada arsitek kita yang biasanya membuat tampilan arsitektur yang meng-Global, tiba-tiba saja berbalik membuat tampilan yang meng-Indonesia. Hmmmm, semoga!

*Anas Hidayat

arsiTEKS di REK - REpublik Kreatif Surabaya

/Catatan/

Saya memakai teori Heidegger dan Carl Gustav Jung dengan pertimbangan bahwa untuk membahas masalah tampilan arsitektur yang meng-Indonesia ini cukup dengan teori Heidegger atau Jung saja. Belum perlu menggunakan Jatimurti (sebuah kitab filosofi Jawa Nusantara), karena Jatimurti jauh lebih hebat daripada teori Heidegger dan Jung. Untuk menembak burung, saya hanya perlu meminjam senapan angin, belum perlu memakai meriam. Terimakasih.

Tampilan Arsitektur

Oleh: josef prijotomo

Tampilan: apa dan siapa dia?

Tergantung pada sisi tinjau manakah penjawab pertanyaan itu, di situ pulalah kebenaran dan kesalahan, persetujuan dan penolakan atas jawabannya diletakkan. Bagi pihak yang masih menempatkan ruang sebagai panglima dalam arsitektur, misalnya, maka tampilan bukanlah sebuah ihwal yang perlu perhatian yang setara dan sepadan dengan perhatian terhadap ruang arsitektur. Mereka yang mengikuti dogma ‘form follows function’ mengatakan bahwa bentuk muncul sebagai akibat dari pananganan atas ruang dan fungsi. Dalam lingkungan penganut pandangan itu, bahkan tidak jarang ada kesan bahwa bentuk itu disinonimkan dengan ruang. Lihat saja Glass House dari Philip Johnson atau Tugendhat House dari Mies van der Rohe.

Tampilan arsitektur dapat dipastikan sebagai kehadiran arsitektur sebagai obyek yang nyata, yang dengan langsung tertangkap oleh indra penglihatan. Wajah atau rupa dari arsitektur dapat dimunculkan sebagai sinonim dari tampilan. Sebuah suguhan berupa foto berwarna dari sebuah arsitektur dapat dikemukakan sebagai contoh dari tampilan. Apa saja yang dapat dikatakan dari gambar berwarna itu adalah apa yang menjadi kelengkapan dari tampilan arsitektur itu.

Mitos Tampilan

Oleh karena adanya pro dan kontra atas kehadiran tampilan arsitektur itu, maka setiap hal yang oleh yang satu diyakini sebagai benar akan mendapat tanggapan berawanan, mendapatkan kontra dari yang lain. Keadaan inilah yang membuat saya menempatkan segenap pendapat tentang tampilan arsitektur sebagai mitos, sebagai kebenaran yang sekaligus ketidak-benaran. Apa sajakah itu?

Kesatu, seperti telah dikatakan di depan, tampilan itu adalah hasil dari olah ruang dan fungsi (di sini, tidak dibedakan fungsi sebagai function dan fungsi sebagai use).

Kedua, tampilan memberitahukan, dengan bahasa rupa, peruntukan atau penggunaan dari arsitektur, dan karena itu menjadi kurang terpuji kalau tampilannya seperti lazimnya rumah tetapi penggunaannya adalah untuk kantor.

Ketiga, tampilan memberitahukan kekinian dari saat atau jaman atau masa perancangan atau pembangunan dari arsitektur.

Keempat, tampilan memberitahukan status, gengsi, gaya hidup dan cita dari pemilik.

Kelima, tampilan memberitahukan langgam atau gaya arsitektural yang digunakan

Keenam, tampilan memberitahukan orientasi geografik atau etnik seperti mengglobal, melokal

Ketujuh, tampilan menyentuh rasa dan akal sehingga menumbuhkan kesan tertantu

Kedelapan, tampilan adalah iklan yang berusaha untuk memikat calon pembeli

Kesembilan, gubahan artistik atau estetik, gubahan yang menumbuhkan pesona pada penikmatnya

Kesepuluh, tampilan adalah pembawa ciri arsitektural arsitek

Tidak disangkal bahwa senarai di atas dapat diperpanjang lagi, tetapi satu hal yang mestinya kita mengakui bahwa ihwal tampilan arsitektur bukan sebuah pekerjaan arsitektural yang bisa disepelekan atau dinomor-duakan. Dapat dipastikan bahwa tidak ada satu arsitekpun juga yang tidak melakukan pengolahan tampilan bangunan, termasuk arsitek yang paling lantang berkeyakinan bahwa arsitektur adalah ruang.

Nalar Mengindonesia

Penolakan

Tampilan yang mengindonesia menjadi polemik yang belum berakhir di lingkungan arsitek-arsitek Indonesia sendiri. Orang bisa saja bertanya-tanya mengapa arsitek Indonesia ada yang tidak sependapat dengan penampilan arsitektur yang mengindonesia. Oleh karena hingga saat ini belum pernah ada forum resmi yang mampu menampung segenap pandangan yang kontra tentang tampilan yang mengindonesia, senarai berikut ini sepenuhnya disampaikan sebagai hasil dari perbincangan dengan para arsitek ataupun dari pernyataan para arsitek itu dalam berbagai forum.

Pertama, era melokal sudah usai, kini adalah era mengglobal. Apa yang saat ini berlabel global, itlah yang sebaiknya ditangani

Kedua, persaingan dengan arsitek manca yang sudah bisa berarsitektur di Indonesia menantang arsitek Indonesia untuk dapat menghadirkan tampilan yang setanding dengan buatan arsitek manca

Ketiga, tidak ada jaminan bahwa para klien akan menyetujui usulan tampilan yang mengindoesia; namun bisa lebih dijamin akan adanya persetujuan dari klien kalau tampilannya ‘mengglobal’

Keempat, sulit ditemukan contoh tampilan mengindonesia yang ‘sukses’ atau setanding dengan tampilan yang ‘mengglobal

Kelima, bagaimanakan tampilan yang menindonesia itu, mengingat yang ada di Indonesia adalah Aceh, Minang, Jawa, Bali, Toraja, Atoni, Wamena dan arsitektur-arsitektur anakbangsa Nusantara

Keenam, sungguh sulit mengindonesia karena belum ada buku acuan

Ketujuh, arsitektur yang Minang, Jawa, Bali atau Toraja itu yang mana ya?

Juga, senarai di atas dapat diperpanjang lagi. Yang pasti, sikap kontra dalam menghadirkan tampilan yang mengIndonesia senyatanya adalah yang dominan. Pertanyaannya, apakah yang dominan itu adalah yang benar?

Latar Penolakan

Dari demikian banyak perbincangan dan dengan mencermati senarai penolakan di atas, dan dilengkapi dengan memperhatikan materi ajar di sekolah arsitektur di Indonesia, ada dugaan kuat mengapa penolakan untuk mengindonesia itu cukup kuat, dominan dan berposisi ‘di atas angin’.

Pertama, serbuan suguhan pemikiran dan karya arsitektur global telah tak terbendung. Mereka ini pula yang kemudian dijadikan indikator bagi keglobalan.

Kedua, gempuran suguhan yang mengglobal itu lebih dipusatkan pada yang bercorak new modern (istilah dari Charles Jencks), yakni corak arsitektur yang mengutamakan gubahan geometrik yang non-referential maupun non-figurative. Bahwa ada corak yang seperti dihasilkan oleh Robert Venturi, Michael Graves, Terry Farrell dan mereka-mereka yang memunculkan kembali keklasikan barat dengan transformasi yang mengagumkan, nyaris tidak dikenal dan dikenalkan.

Ketiga, rendah dan miskinnya pengenalan dan pengetahuan para arsitek tentang arsitektur nusantara (asitektur tradisional). Guna mnyembunyikan hal itulah kemudian dimunculkan isyu tidak adanya rujukan dan buku acuan yang Nusantara/tradisional/Indonesia

Keempat, meski menyadari akan keadaan butir 3 itu, tidak banyak yang kemudian belajar sendiri.

Kelima, ada sekolah arsitektur yang tidak menempatkan arsitektur nusantara sebagai matakuliah wajib. Dari sekolah-sekolah yang menempatkan sebagai matakuliah wajib, sebagian terbesar mengisinya dengan antropologi arsitektur, dan oleh karena itu tidak ‘match’ dengan matakuliah arsitektur lainnya, terutama dengan matakuliah perancangan arsitektur.

Sebuah dugaan muncul, sebagai berikut: keakraban dengan yang manca sekaligus keterasingan dengan yang nusantara adalah latar penolakan untuk mengIndonesia. Dripada ketahuan bahwa sangat asing dengan yang nusantara, lebih baik bercakap lantang tentang yang ‘global’ dan ‘masa depan’, dan dengan ‘persaingan antar arsitek’.

Meniscayakan PengIndonesiaan

Tidak ada rancangan arsitektur yangbisa terwujud menjadi gedung bila tidak memiliki tampang atau tampilan. Tampilan yang bagaimanakah yang dihadirkan, sepenuhnya berada di tangan para arsiek perancang. Itu berarti bahwa hadirnya tampilan itu sepenuhnya bergantung pada mau dan tidaknya seorang arsitek untuk memilih tampilan yang ini dan tidak memakai tampilan yang itu. Ya, keMAUan, bukan kemampuan. Sesampai di sini, bukan mustahil bila segenap penolakan untuk mengIndonesia itu asalmuasalnya adalah urusan mau atau tidak mau, bukan mampu atau tidak mampu.

[1] Arsitektur nusantara itu bukan arsitektur yang mati, yang tidak berubah. Karena antropologi arsitektur cenderung mencari rampatan (generalisasi) dan keajegan (constancy), maka aspek pengkhasan (particularisation) serta keubahan (change, modification, transformation) menjadi tersisih. Padahal, semua arsitektur Nusantara mengalami pengkhasan dan pengubahan. Dengan kata lain, dalam ruang dan waktu kesilamannya, arsitektur nusantara senantiasa menyeseuaikan diri dengan ke-‘kini’-an di jamannya, Lihat saja percandian jawatimur yang demikian besar perbedaannya dari percandian jawa tengah. Lihat pula kraton yogya dan surakarta yang demikian banyak memunculkan elemen eropa dalam arsitektur jawa-nya.

[2] sikap mengunggulkan yang barat telah menutup peluang perkembangan arsitektur barat sebagai sebuah perkembangan atas arsitektur tradsional yunani-romawi. Mencermati dengan kritis John Summerson dalam bukunya A Classical Language of Architecture akan dapat dikenali bahwa sejarah barat itu adalah sejarah perkembangan arsitektur tradisional yunani-romawi, sebuah tradisi yang berarti menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu sambil tetap memegang keyunani-romawian di berbagai aspeknya.

[3] di sekolah-sekolah arsitektur di eropa dan amerika, sejarah arsitektur mereka hanya diisi dengan arsitektur tradisional yunani-romawi; tidak ada sekolah arsitektur yang mengajarkan arsitektur tradisional Indonesia. Mengapakah kita di Indonesia demikian terjajah oleh mereka sehingga mewajibkan sejarah tradisional yunani-romawi? Sekolah arsitekturdi Indonesia seakan buta dan tuli akan sikap dan tindakan revolusioner almarhum YB.Mangunwijaya dengan Wastu Ctra yang demikian monumental dan setara, seadan dan sejajar dengan buku Vitruvius (atau malah lebih unggul dari buku Vitruvius!)

[4] tidak sedikit klien yang memahami ihwal rupa dan tampilan arsitektur, dan oleh karena itu bisa saja klien tidak tahu bahwa tampilan yag disodorkan adalah tampilan yang Indonesia. Peluang yang bagus ini, sayangnya, tidak dimanfaatkan oleh arsitek Indonesia karena arsiek Indonesia sendiri tidak (mau) memahami rupa arsitektur Indonesia

[5] di antara para arsitek yang mau peduli dengan pengIndonesiaan, kebanyakan mengIndonesiakan arsitekturnya melalui nilai-nilai arsitekturalnya. Tindakan ini tidak keliru, tetapi tidak jitu. Sebab, nilai itu tidak terlihat, abstrak, dan kalau dibuat terlihat lalu muncul sebagai pola atau suguhan skematik. Sumbu vertikal dan horisontal dapat dengan sempurna menggambarkan nilai Indonesia, tatapi sekaligus juga dengan sempurna menggambarkan nilai yang bukan Indonesia. Kalau sudah demikian, keIndonesiaan lalu menjadi teramat sangat cair dan nyaris tak bena (signifikan).

Meniscayakan Tampilan yang mengIndonesia

Ada dua pilihan kesempatan menghadirkan tampilan yang mengindonesia yakni yang pertama menempatkan arsitektur nusantara sebagai preseden; dan yang kedua, mengkritisi kelompok purna modern (robert Venturi, Michael Graves dan yang lain)

Arsitektur nusantara sebagai preseden

<1> Percandian Jawa Tengah: menadikan bangunan kayu sebagai latar depan dan menempatkan arsitektur India sebagai latar belakang. Di sini, teknologi yang digunakan sepenuhnya India

<2> percandian jawa Timur merupakan transformasi prroporsi, peminimalan hiasan, mengedepankan geometri, dalam bandingannya dengan percandian jawa tengah

<3> kraton yogya dan surakarta mengkombinasikan tampilan, kombinasi tampilan eropa dengan tampilan jawa. Tampilan eropa diposisikan sebagai emphasis dan dengan demikian yang jawa masih dominan

<4> candi bentar dan kori ageng di arsitektur Bali, sangat bervariasi, baik dalam tampilan maupun dalam teknik

<5> transformasi morpologikal dari arsitektur berbangun kerucut di Nusatenggara Timur; juga dari arsitektur Sumba hingga arsitektur Juglo-Jawa. Variasi morpologikal antara arsitektur Toraja dengan arsitektur Toba.

<6> elaborasi yang eksageratif arsitektur Jawa-Jepara dalam sandingannya dengan arsitektur Jawa Mataraman

Arsitektur Purna modern sebagai rujukan (dalam hal menjadikan yang global sebagai acuan)

[1] geometri platonik sebagai latar belakang, tampang bangunan terhiasi oleh geometrisasi elemen arsitektur klasik

[2] ornamen dan dekorai yang tiga dimensional disuguhkan kembali sebagai rupa yang dua dimensional; dan sebaliknya

[3] eksagerasi ukuran dan proporsi dari elemen klasik

[4] tampang yang adalah sebuah bidang datar persegi, dikeping-keping menjadi tampang yang seakan terdiri dari demikian banyak lapisan bidang. Di sini warna klasik menjadi pendominasi tampilan

[5] penggantian (substitusi) patung dan dekorasi klasik dengan/oleh patung dan dekorasi masakini (Disney Headqurters dari Michael Graves)

[6] penggantian bahan dan warna atas elemen yang nyata-nyata klasik (Piazza d’Italia dari Charles Moore)

[7] mentransformasi tampang bangunan klasik menjadi tampang yang sepenuhnya geometri platonik, sehingga hanya dari sosoknya saja sudah dapat dikenali keklasikannya (Aldo Rossi, juga AT&T dari Philip Johnson yang merupakan gedung jangkung)

[8] berbagai teknik pertampangan yang disajikan oleh Venturi dalam Complexity and Contradiction in Architecture

[9] sosok bangunan dipertahankan dalam geometri platonik, dijadikan kanvas bagi penghadiran dekorasi, lukisan, ornamentasi yang sudah distilisasi menjadi sosok geometri, dihadirkan dengan memanfaatkan warna dan effek tumpang-tindih bidang.

keMAUan

Jagad adi busana, produk desain, seni lukis, seni tari maupun seni musik, serta jagad boga (kuliner) telah dengan tegap dan bangga mengkinikan yang Nusantara. Bahkan sudah tercium bau adanya semangat dan persaingan untuk semakin mengIndonesia dalam karya. Kemampuan ada dan keMAUan menyertainya, maka terwujudlah tampilan yang mengIndonesia, tampilan yang Nusantara mengkini. Sungguh akan sangat memalukan kalau di arsitektur justru semangat dan persaingan malu mengIndonesia yang tumbuh, bukan?

Jika kita MAU, tidak mustahil akan muncul tampang yang mengIndonesia.

Surabaya, 15 mei 2011 – embah.petungan@gmail.com

6.5.11

karya besar orang-orang kecil

SMP Negeri 17 di daerah sumber, surakarta, terletak di dalam jalan kecil agak tersembunyi. Murid-muridnya pun orang-orang kecil. Dari 700 - an jumlah murid SMP Negeri 17, sekitar 90% berasal dari keluarga kurang mampu. Pemulung, tukang becak, tukang sampah...menggambarkan dari mana anak-anak ini berasal.

Mereka bisa sekolah karena program sekolah gratis pemkot surakarta. Dari sepatu, pakaian, buku, semuanya gratis.

Seorang guru seni rupa, pa bambang, memahami anak didiknya orang-orang kecil. Yang belum tentu melanjutkan sekolah lagi. Sejak 2007 , pa bambang mengajari anak-anak smp ini membatik. Melukis batik. Agar anak-anak punya keterampilan ketika lulus SMP. Dan punya semangat bekerja atau berkarya. Sekitar 50 anak smp tersebut diajari tanpa didikte setiap hari rabu sepulang sekolah. Mulai dari menggambar pola di atas kertas. Kalau sudah terbiasa, lalu berlanjut membatik di kain. Lukisan batik. Dengan sedikit koreksi-koreksi kecil dari sang guru.

Hasilnya luar biasa. Lukisan-lukisan yang menarik. Seakan tidak ingin berhenti di situ saja. Pa bambang mengajak anak-anak melukis batik di baju kain. Lalu dikembangkan lagi di kaos. Kemudian di kayu. Lalu di topeng. Mulai melirik kertas semen bekas yang sebelumnya direndam di air. Terus berkembang dengan rencana-rencana baru.

Luapan semangat mengabdi sang guru yang terus makin berkobar. Berbagai galeri batik ternama sudah memesan karya-karya anak-anak smp negeri 17 surakarta ini. Turis-turis asing pun ikut berburu karya-karya mereka. Tawaran membatik di berbagai festival bukan hal baru. Saya sangat yakin karya-karya mereka makin luar biasa bila dilatih sedikit saja tentang warna dan teknik-teknik seni lainnya.

Tidak jarang pesanan jumlah besar ditolak. Ini murni karya kerajinan waktu luang anak-anak. Belum dikelola menjadi komersil. Dan mungkin tidak perlu mengikuti irama komersil. Ada waktunya anak-anak ingin bermain. Tidak melulu membatik. Bosan menunggu pembeli di gerai usaha kecil menengah yang sebetulnya cukup laku.

Tawaran memboyong belasan anak untuk membatik selama 1 bulan ke bali sempat ditolak. Sang guru tak bisa tidur semalaman memikirkan nasib anak-anak seandainya pergi tanpa ada yang bisa mendampingi. Guru yang sangat melindungi anak didiknya. Tidak hanya memikirkan eksistensi dirinya, yang sebetulnya tokoh kunci dalam menggali kehebatan anak-anak didiknya. Sebagian keuntungan hasil menjual karya anak-anak dipakai untuk membeli bahan baku atau alat. Tak jarang sang guru membayari kebutuhan makan atau ongkos transportasi anak-anaknya.

Di negeri terpuruk seperti saat ini, kisah smp negeri 17 surakarta memberi harapan segar. Orang kecil masih dan akan selalu berjuang. Demi nilai-nilai baik. Demi kesetaraan. Demi kehidupan. Tidak peduli bagaimana orang memandang mereka. Tidak peduli bagaimana mereka tidak dipedulikan. Selalu berjuang. Kalau mereka diberi kesempatan (sekolah). Lagi-lagi hormat untuk walikota surakarta pak jokowi.

Dan kagum pada kehebatan pecanting-pecanting kecil. Warnai bumi pertiwi dengan karya-karyamu.

surakarta, 5 mei 2011

yu sing

bersama komunitas wedangan