26.9.09

Arsitek dalam rekonstruksi pasca bencana

td siang sy sempat ikut rapat koordinasi berbagai NGO di bdg yg sptnya dimotori oleh UN OCHA (http://www.un.or.id/content/agencies/un-ocha), dlm menangani gempa tasik kemarin, yg jumlah kerusakannya cukup besar dan menyebar di 8 kabupaten.

Arsitek dalam rekonstruksi pasca bencana.
1
dlm setiap bencana yg terjadi di indonesia, yg pasti selalu menjadi andalan utama adalah tenda dan indomie. kadang2 tenda2 tsb harus dapat bertahan mungkin selama 1 tahun-an sblm rekontruksi pasca bencana dpt selesai. bayangkan hidup dlm kondisi yg sangat terbatas spt itu? (apakah korban lapindo kemarin msh juga hidup di tenda?) belum lagi soal cuaca yg kadang2 krg ramah. di pangalengan bisa amat dingin.belum lagi kemungkinan hujan yg sebentar lagi datang.
jadi perlu kita mulai pikirkan tentang temporary shelter (pernaungan sementara) yang lebih layak dan cocok utk iklim kita. paling tidak utk menghadapi bencana2 yg sgt mungkin terjadi di masa2 akan datang. beberapa negara lain sudah lbh siap dgn temporary shelter yg dpt lgs didistribusikan ke lokasi2 bencana. salah satu cara yg bisa kita lakukan utk dapat banyak ide nyata mungkin lewat sistem sayembara. symbara prototipe pernaungan sementara.

2
selain pernaungan sementara, dlm proses berikutnya, kita para arsitek sudah sepantasnya dapat ikut membantu proses rekonstruksi pasca bencana. Pengabdian Profesi IAI bersama-sama JAIM (jaringan arsitek Indonesia merakyat) perlu mulai mempersiapkan diri dalam proses rekonstruksi yang akan segera dilaksanakan dlm beberapa minggu ke depan (kemungkinan setelah lebaran, dengar-dengar rekonstruksi situgintung juga perlu bantuan kita). Beberapa bantuan yang dapat diberikan yaitu:
- membantu proses konstruksi (gotong royong membersihkan lokasi, meladeni tukang, distribusi material, membantu pasang bata, dll) yang dapat dilakukan setiap hari sabtu-minggu. Bantuan tenaga ini sangat membantu untuk mengurangi biaya tukang. (dalam bbrp kesempatan program Global Village Habitat For Humanity Indonesia
( http://www.habitatindonesia.org/ ), donator dari luar negeri bukan hanya memberikan dana, namun juga datang ke lokasi home partner utk membantu konstruksi secara gotong royong).
- memberikan jasa konsultasi desain di lokasi dengan menyediakan semacam posko bantuan desain.
- dalam jangka panjang, perlu mempersiapkan prototipe rumah2 sederhana siap bangun.
Mari teman-teman, kita mulai mempersiapkan diri. Turun Gunung Yuk!

5 september 2009,
yu sing

Untuk Rumah Murah nan Ramah

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/10/Gaya_Hidup/krn.20090610.167680.id.html
Yu Sing
Untuk Rumah Murah nan Ramah

Hari Lingkungan Sedunia yang jatuh pada 5 Juni lalu menerbitkan sebuah senyuman dari bibir Yu Sing. Ya, arsitek muda yang namanya meroket sejak meluncurkan konsep unik rumah murah mendukung lingkungan ramah ini baru saja melawat ke Makassar. "Ada tugas yang tidak jauh-jauh dari konsep merancang rumah murah berbasis lingkungan nan ramah," ujarnya tenang.

Penulis buku Mimpi Rumah Murah terbitan Trans Media, dan belakangan sangat diminati, itu mengatakan semangatnya selalu membara saat ditantang pertanyaan mengapa ingin membantu merancang rumah murah. "Jawabannya sangat dalam, tertanam di sini," ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuk ke dada.

"Kalau mau digamblangkan, seperti menjawab pertanyaan mengapa saya hidup ke dunia," Yu Sing melanjutkan, Sabtu lalu. Ia menjelaskan, hidup berarti bila dapat mempertanggungjawabkan semua yang telah Tuhan berikan menjadi manfaat buat banyak orang.

Penampilan arsitek berusia 33 tahun yang bertubuh kurus dan gondrong ini sepintas tak ada yang istimewa. "Memang I'm not special, ha ha! Tapi semoga apa yang saya lakukan bisa memberikan makna penting bagi masyarakat dan lingkungan," ujarnya sembari tergelak kecil.

Lewat bukunya itu, membantu merancang sejuta rumah murah merupakan jawaban atas kegusaran hatinya. Terutama anggapan masyarakat umum bahwa jasa arsitek hanya dominan dan haknya orang kaya semata.

Menurut dia, orang menengah ke bawah punya hak yang sama. Namun, lantaran label tadi telanjur melekat, utamanya ongkos jasa arsitek nan selangit membuat keder masyarakat menengah ke bawah. Pria yang mengidolakan mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini memaknai apa yang dikerjakan Romo Mangun berpengaruh kepadanya. Terutama sebagai pendorong semangat serta tempat belajar kemanusiaan dan desain.

Keputusannya membantu desain rumah murah dengan jasa murah memang bagian dari ilmu yang dipelajarinya. Seharusnya arsitektur dikembangkan untuk kesejahteraan semua masyarakat. Bukan cuma untuk golongan tertentu saja.

Dia juga ingin berbagi pengalaman mengenai rumah tinggal inspiratif berkonsep rumah murah. Artinya, merancang rumah sederhana yang memberikan penjelasan mengenai ruang-ruang hidup yang dapat mempengaruhi cara hidup penghuninya menjadi positif dan inspiratif.

Yu Sing merancangnya menjadi rumah penuh makna, ramah lingkungan, dan hemat energi. Nilainya bisa lebih tinggi dari rumah-rumah mewah yang tidak ramah lingkungan. Cara pandang soal keindahan serta kemewahan perlu lebih luas dan jernih. Rumah dari material bekas, jika didesain dengan baik, akan jauh lebih indah dan wah daripada rumah yang terbuat dari banyak materi impor tanpa desain baik.

Saat ini biaya mendesain rumah konsep Rp 1-2 juta setiap meter persegi. Sistem struktur rumah harus efisien dan hemat sebab biaya struktur bangunan bisa mencapai 40-60 persen dari biaya keseluruhan.

Material finishing juga banyak dikurangi tanpa menggerus kualitas arsitektural ruang. Lalu yang dipakai kebanyakan material sehari-hari lazimnya rumah-rumah rakyat. Harga pembuatannya berkisar Rp 25 sampai Rp 300 juta. Bila kemampuan anggaran membangun kurang dari Rp 25 juta, jasa desainnya gratis. Hingga kini Yu Sing mengerjakan rumah-rumah murah dalam bentuk baru, renovasi atau setengah jadi, serta rumah daur ulang berbahan kayu, bambu, beton, kontainer, fiber, dan lainnya.

Anak kedua dari tiga bersaudara ini menuturkan, masa kecilnya sederhana dan sering hidup berpindah-pindah kontrakan lantaran orang tuanya tidak punya rumah. Dia pun sering menerima perlakuan rasial karena keturunan Tionghoa.

Untung orang tuanya membekali semangat kerja keras, berhati bijak, dan demokratis. "Justru kondisi itu mendidik saya menjadi orang anti-rasial. Saya memperlakukan semua orang setara tanpa melihat suku, kedudukan, dan pekerjaan. Di mata Tuhan semua orang sama. Tak ada derajat lebih tinggi atau rendah."

Sejak kecil Yu Sing tidak punya cita-cita istimewa. Dia sangat menikmati hidup serta bertipe orang suka hidup tenang, santai, dan bermalas-malasan. Namun, kini ia tak sempat bermalas-malasan karena kliennya tersebar di Tanah Air, termasuk Papua dan Kalimantan.

Salah satu alasan ia kuliah arsitektur adalah demi menghindari hafalan, dan menyukai tugas menggambar di studio. "Saya sempat stres berat di awal kuliah karena tak cukup berbakat. Setelah ketemu dosen yang dapat membimbing dengan baik, dan karena kuasa Tuhan, saya bisa belajar menikmati dan mencintai dunia arsitektur," penyuka makanan tradisional ini menambahkan.

Penggemar jalan-jalan bersama keluarga dan menikmati alam ini mengatakan keinginannya, yaitu ke depan lebih banyak arsitek yang membantu mendesain rumah murah. "Saya ingin suatu saat para arsitek memiliki misi idealis yang dekat membantu rakyat menyajikan konsep rumah murah. Secara pribadi saya ingin membantu desain sejuta rumah murah dan jalan-jalan keliling Indonesia," ujarnya. HADRIANI P

Nama: Yu Sing

Lahir: Bandung, 5 Juli 1976

Status: Menikah dan mempunyai seorang anak

Pendidikan:
# 1994-1998, Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung

Riwayat Pekerjaan:
# 1999-sekarang, Studio Arsitektur GENESIS
# 2007, Bergabung dengan Studio Habitat Indonesia, yang banyak menangani proyek desain nirlaba bersemboyan "Good design is for everyone"
# 2008-sekarang, Sukarelawan di Habitat for Humanity, Bandung
# 2009, penulis buku Mimpi Rumah Murah (Trans Media)

Beberapa Penghargaan:
# Pemenang pertama desain Gereja Kristen Indonesia Anugerah, Bandung
# Pemenang kedua desain Sekolah Internasional BPK Penabur Singgasana Pradana, Bandung
# Pemenang pertama desain TK Internasional BPK Penabur Bahureksa, Bandung
# Pemenang ketiga mendesain Taman Rakyat Cimahi
# Top 10 Fasade Rumah Ide
# Pemenang pertama desain Muka Jakarta Design Center
# Pemenang desain Sekolah Internasional BPK Penabur Banda, Bandung
# Pemenang pertama desain gedung Pelayanan Pusat Akademik Universitas Negeri Makassar
# Unggulan 12 besar desain gerbang tol dan area istirahat Tol Kanci-Pejagan.

Para Penerus Romo

13/XXXVIII 18 Mei 2009
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/18/ART/mbm.20090518.ART130316.id.html

Para Penerus Romo
Nama Romo Mangun masih sangat dikenal dan diidolakan para arsitek muda. Juga masih cukup banyak yang berkarya ala ”Romomangunisme”.

Judul buku itu menarik: Mimpi Rumah Murah. Penulisnya arsitek muda, baru 33 tahun, bernama Yu Sing. Sosoknya kecil dan kurus, berambut gondrong sebahu—sesekali disibakkan saat mengobrol. Namun semangatnya begitu besar. Jawabannya atas pertanyaan mengapa ingin membantu mendesain rumah murah terdengar ”dalam”. ”Itu salah satu jawaban pertanyaan untuk apa saya hidup,” katanya. Bahkan dalam penutup pengantar buku yang baru diterbitkan pada Maret lalu itu, Yu Sing menyatakan, ”Mimpi membantu desain sejuta rumah murah.”

Yu Sing adalah tipikal anak muda idealis. Dia punya kritik keras terhadap kondisi di sekitarnya, termasuk dunia arsitektur dan profesi arsitek. Lulusan Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung itu gusar benar terhadap anggapan publik bahwa jasa arsitek hanyalah ”hak” orang kaya. Orang menengah ke bawah, karena khawatir ongkos jasa arsitek membengkakkan biaya pembuatan rumah, emoh menggunakan jasa itu.

Seperti banyak arsitek lainnya, Yu Sing pun mengidolakan mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, arsitek dan budayawan yang akrab dipanggil Romo Mangun itu. ”Saya mengagumi konsistensi kehidupan dia. Dia mengerjakan apa yang dia katakan,” katanya. Untuk itulah ayah satu orang anak berusia sebelas bulan ini ingin mewujudkan ”mimpi” yang dia sebut itu. Dia mulai dari mendesain dan membangun rumah mungil, murah dan ramah lingkungan untuk keluarga kecilnya dan ibunya di daerah Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Ide yang dia sebarkan melalui tulisan di sebuah majalah arsitektur, blog pribadinya, milis arsitektur dan kemudian bukunya, ternyata membuahkan banyak sambutan. Klien menengah ke bawah dari berbagai daerah di Indonesia—termasuk dari Papua dan Kalimantan—menghubunginya, baik melalui email maupun telepon. Hingga kini Yu Sing sudah memiliki 40 klien yang ingin dibuatkan desain untuk rumah sederhana, meski sebagian besar bangunannya belum jadi. ”Ada yang meminta desainnya dahulu, karena belum punya cukup uang untuk membangun rumahnya,” kata Yu Sing, yang memiliki biro arsitektur Genesis, berkantor di sebuah rumah tua kontrakan di Jalan Semar, Bandung.

Klien pertama untuk rumah murah­nya adalah paman dari kolega sekantornya. Yu Sing diminta merenovasi rumah yang tergolong tua—lebih dari 30 tahun—di kawasan Caringin, Bandung. Ternyata rumah tersebut tidak dapat sekadar direnovasi karena sudah sangat tua, sehingga harus dibongkar dan dibangun lagi. Namun 8090 persen bahannya masih bisa didaur ulang dan digunakan lagi. Rumah pun didesain sebagai rumah tumbuh, yang bisa dibangun bertahap sesuai dengan ke­tersediaan dana pemilik.

Rumah dibuat bertingkat dua, agar masih tersedia ruang terbuka hijau dan daerah resapan. Dinding dibangun dengan beton bertulang agar tahan gempa. Bahan fiber semen digunakan untuk atap, agar lebih murah. Atap pun didesain agar bisa menampung air hujan, yang melalui proses penyaringan sederhana, akan dapat digunakan lagi. Yang membuat rumah ini unik, bekas genting rumah lama dipakai untuk menutupi dinding batu bata rumah bangunan baru. Karakter warna acak pada genting menciptakan pola yang menarik.

Mendesain rumah murah—belum ada batasan yang pasti tentang rumah murah, tapi paling tidak ada kesepakatan nilainya di bawah Rp 300 juta—sebenarnya justru menjadi tantangan kreativitas para arsitek. Menurut Rudy Bachsin, 45, konsultan arsitektur, karena anggaran yang sangat terbatas, mencari bahan bangunan rumah murah itu merupakan tantangan tersendiri. ”Rumah murah bukan berarti rumah murahan,” kata pengagum arsitek Romo Mangun dan Bian Poen itu.

Makin menarik karena pembangunan rumah harus disesuaikan dengan karakter penghuninya. Menurut Rudy, tak peduli rumah tipe 35, 75, atau 900 meter persegi, intinya sama, yaitu menciptakan kenyamanan, juga bagaimana menjabarkan mimpi si pemilik rumah. ”Saya justru lebih tertantang dengan klien berbujet kecil, ketimbang yang besar,” kata arsitek yang biasa dipanggil Aseng itu.

Rudy sangat menyarankan penggunaan bambu untuk tiangtiang rumah dan kusen pengganti kayu. Bambu lebih ramah lingkungan, lebih mudah, lebih cepat tumbuh dibanding kayu. Lagi pula, si pemilik rumah bisa menanam bambu sendiri, sebagai pengganti bila yang lama rusak.

Untuk membangun rumah murah namun tak terkesan murahan, Rudy memadukan bambu untuk tiang dan kaca untuk dinding. Beton hanya diguna­kan untuk struktur dan fondasi, serta bagian tertentu rumah, seperti kamar mandi, toilet, dan dapur. Penggunaan jendela lebarlebar, selain membuat udara bebas bergerak, juga mengirit bahan bangunan. Ketika membangun studio untuk pelukis Hanafi di Depok, misalnya, untuk mengecat lantai semen, Aseng menggunakan karbon ba­terai bekas. ”Karbon kan tidak merusak kesehatan,” kata Rudy, yang kini tengah membangun Masjid Daun di kawasan wisata Gunung Salak, dengan menggunakan bambu dan atap terpal.

Soal keberpihakan pada klien ”orang kecil”, menurut beberapa arsitek yang ditemui Tempo, tidaklah terlalu sulit. Cukup banyak yang masih memiliki idealisme mendesain untuk rakyat kecil. Tapi kesempatan itu kadang sulit. Karena arsitek perlu klien dan lahan. Menurut Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Indonesia, Bambang Eryudhawan, ada temantemannya yang siap mendesain sekolah secara gratis, tapi kesempatan belum ada.

Itu semua mungkin diakibatkan oleh pandangan bahwa jasa arsitek memang mahal. Sehingga dibutuhkan gerakan seperti yang dilakukan Yu Sing, Rudy, dan yang lainnya untuk membuktikan, keberpihakan ke warga menengah ke bawah memang ada.

Yang lebih ekstrem adalah kelompok bernama Studio Habitat Indonesia. Organisasi nirlaba yang berafiliasi dengan lembaga swadaya masyarakat internasional di bidang penyediaan papan untuk kaum papa Habitat for Humanity ini sejak 2005 membantu membangun rumah murah (cost effective houses), dengan bujet di bawah Rp 40 juta, untuk rakyat. Selain memanfaatkan bahan lokal, juga tenaga kerja warga setempat, organisasi ini sudah menjalankan proyek seperti di Padalarang, Cimahi, Garut. Kini kelompok yang umumnya terdiri dari mahasiswa serta lulusan arsitek dan sipil ini akan menggelar sayembara rumah murah, akhir bulan ini.

Yang lucu, menurut Rendy Aditya, pengurus Studio Habitat, justru pandangan orangorang yang mereka bantu. ”Mereka memiliki konsep rumah seperti di sinetronsinetron televisi itu,” kata Rendy, lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung. Jadi, rumah itu harus ada ruang tamu di dalam, kamar tidur meski kecil dan hanya satu. Padahal, mereka lebih butuh satu ruang multifungsi—untuk berkumpul, bekerja, belajar, memasak— lalu kamar tidur, dan untuk menerima tamu cukup di teras saja. Ratarata, klien organisasi ini tidak memahami pentingnya sanitasi dan ventilasi yang baik. Kata Rendy, ”Meyakinkan mereka sungguh tidak mudah.”

Bina Bektiati, Ahmad Taufik