10.8.12

vila embun, ubud bali

Vila ini terletak di ubud, bali. Tiap kali ke bali, setiap hari kita akan melihat ritual doa masyarakat bali. Doa atau sembahyang telah menjadi satu dengan semua kegiatan sehari-hari lainnya. Dalam salah satu tulisan yang saya baca (www.beritabali.com) tentang asal usul nama pulau bali disebutkan seperti demikian, dalam kitab Ramayana yang disusun 1.200 SM: "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa (yang dimaksud adalah pulau jawa) yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)." Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yang kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.”
Tiga unsur yang selalu ada dalam sesajen orang bali yaitu air, api, dan bunga harum. Air menjadi unsur penting di Bali, bukan hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menjadi bagian dari spiritualitasnya. Dalam mencari desain vila di ubud ini, akar budaya yang menarik untuk menjadi sumber inspirasi adalah unsur air tersebut. Menurut penjelasan Ben Sarasvati teman saya orang Bali, air dalam sesajen bali itu merupakan air suci yang telah didoakan oleh pemangku/pendeta yang disebut Tirtha. Maknanya adalah pemberkatan dan penyucian.

Di samping lokasi tanah vila ini juga terdapat air suci (yang menurut masyarakat setempat merupakan satu sumber dengan air suci Pura Tirtha Empul di Tampak Siring) yang terletak di bawah pohon beringin yang sudah besar dan terdapat pura di dekatnya. Upacara ritual Mapeed, 10 hari setelah hari raya Kuningan,  juga dilakukan di pura ini. Ritual ini merupakan perwujudan rasa syukur umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa (putusukmana.blogspot.com). Dalam ritual Mapeed, terlihat pemandangan yang menarik berupa iring-iringan ibu-ibu rumah tangga berseragam pakaian adat membawa sesajen di atas kepalanya.


foto: i putu sukmana ghitha
Betapa pentingnya air suci dan berbagai kegiatan upacara ritual di sekitar lokasi lahan ini, semakin mendorong kami untuk mendesain vila yang berunsur air sebagai bagian dari nilai lokal yang spesifik. Tanah ini sebetulnya milik keluarga kerajaan ubud yang semula ingin dijual karena membutuhkan biaya besar untuk memperbaiki dan merawat Puranya. Klien kami ibu stella merasa sayang kalau tanahnya hanya dijual begitu saja, apalagi kalau sampai dimiliki oleh orang asing. Karena itu diusulkan kepada pemilik untuk mengelola tanahnya bersama-sama dengan cara didesain sebagai kompleks vila, tidak hanya dijual sebagai tanah kosong. Sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan, ibu stella merencanakan ada satu kavling khusus yang akan tetap menjadi pemilik tanah semula. Kemungkinan besar kavling ini akan didesain sebagai vila tipe puri yang modern.

vila embun dilihat dari kolam renang

taman terasering


menara didesain seperti Gebongan, sesajen khas Bali yang terdiri atas rangkaian buah dan sesajen.

ruang santai dengan tangga melingkar sebagai latar belakang (struktur tangga bukan yang sebenarnya, gambar hanya ilustrasi posisi tangga)

ilustrasi kamar tidur vila embun
Vila embun, kami menamakannya seperti itu, karena bentuk vilanya seperti embun atau tetesan air. Di dalam vila embun, kami menitipkan berkat dan penyucian, seperti air suci pada sesajen bali. Setiap orang (diutamakan orang indonesia) yang berkesempatan membeli vila di tempat ini telah diberkati dengan memiliki vila di tanah yang istimewa di ubud, karena itu pula sebagian dananya akan dikumpulkan untuk memberkati ubud (yang masih dicari kemungkinannya akan seperti apa). Diberkati untuk memberkati. Tidak sekedar jual beli.

Komitmen dan paradigma seperti ini membuat kami tim desain lebih yakin dalam mengerjakan desain ini. Beban bahwa tanah ini milik keluarga kerajaan ubud sudah sangat besar, dan semula saya terus ragu-ragu untuk mulai mendesain walaupun tanah dan foto-fotonya telah diperlihatkan. Saya malah mengerjakan desain lain terlebih dahulu yang diberikan klien yang sama, tanah milik rakyat biasa di ubud yang juga membutuhkan uang dan semula ingin menjual tanahnya (soal ini akan diceritakan kemudian). Apalagi kalimat bahwa klien memikirkan tanah ini perlu diusahakan agar dapat memberkati ubud. Semula saya mengusulkan agar memanfaatkan tanahnya untuk fungsi-fungsi pemberdayaan komunitas masyarakat. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa dana yang cukup besar harus dihasilkan dari tanah ini. 

Dalam mendesain juga tantangannya tidak mudah. Berbagai contoh vila-vila yang dipasarkan di bali menunjukkan bahwa ‘selera pasar’ yang dianut berbagai pengembang kurang memperhatikan desain yang lebih mendalam. Vila-vilanya sangat biasa saja. Ini serupa dengan bahasa pengembang perumahan-perumahan di berbagai kota besar yang menjual rumah-rumah dengan asumsi ‘selera pasar’ yang lebih mudah dijual. Atau seperti sinetron-sinetron tidak bermutu di televisi-televisi di Indonesia yang katanya digemari penonton. Sekedar menjual apa yang disukai walaupun kualitasnya biasa saja atau bahkan tidak baik.

Saya berusaha untuk tidak terjebak dalam kondisi seperti itu. Apalagi visinya terhadap tanah ini sangat tinggi. Desain awal vila embun ini dinilai terlalu berani. Investasinya akan menjadi jauh lebih mahal daripada vila-vila lain yang sedang dipasarkan. Katanya seperti adi busana yang enak dilihat, mengagumkan tetapi sulit untuk dijual atau dipakai. Walaupun pendapat itu menurut saya kurang tepat, di luar sana kita tidak hanya bersaing dengan vila-vila yang biasa-biasa saja tetapi banyak, tetapi juga dengan vila-vila yang hebat walaupun lebih sedikit. Tetapi saya mengerti bahwa perlu banyak penyesuaian terhadap kondisi-kondisi tersebut. Saat ini vila embun akan menjadi tipe khusus, seperti menu spesial yang tidak tercantum di buku menu, yang akan ditawarkan kepada orang tertentu saja. Bukan menjadi menu utama. Entah nanti jadinya seperti apa. Mungkin juga bahkan berubah menjadi fungsi spa dan restoran yang memang disediakan di kompleks vilanya. Tipe-tipe lainnya sedang didesain kembali. Memang ada perubahan skenario pada perencanaan luas masing-masing kavlingnya. Tetapi visi tanah ini dan sistem sumbangsih calon pembeli pada ubud tetap akan bertahan. Semoga visinya akan terus berbuah. Proses ini akan terus berlanjut. Peran arsitek memang tidak mudah. Kadang perlu hati-hati kadang perlu berani.

bandung, 15 april 2012.

Maka desain perlu segera diperbaiki. Desain vila embun perlu disesuaikan menjadi desain vila yang biaya konstruksinya bisa lebih kecil. Kemudian kami mengingat padi. Bali juga salah satu lumbung padi. Sistem pengairan subak sekarang telah diakui unesco sebagai warisan dunia yang penting. Tapi kenyataan lain, sawah-sawah di bali terus berkurang oleh kepentingan pariwisata dan berbagai fasilitas yang mengikutinya. Beruntung lahan vila ini bukan berupa sawah.

Desain vila embun berubah bentuk menjadi lumbung. Tetapi unsur air masih menjadi sumber inspirasi yang tidak kami tinggalkan. Tetesan air masih menjadi bagian yang disederhanakan pada bentuk denah vilanya. Lumbung mengingatkan bahwa sawah di bali juga perlu dilestarikan. Lumbung masih diperlukan. Dan tidak bisa dipisahkan dari air. Kemudian lahirlah 3 tipe vila: purity (120m2 + kolam 30m3), harmony (180 m2 + kolam 40m2), serenity (250 m2 + kolam 50m2). Gambar-gambar lainnya dapat diihat di: www.royaltirtaubud.com

cimahi, 10 agustus 2012


tipe purity denah lantai 1

tipe purity denah lantai 2


tipe harmony denah lantai 1



tipe harmony denah lantai 2




tipe serenity denah lantai 1

tipe serenity denah lantai 2