28.6.13

rumah terjangkau untuk semua, kompas 22 mei 2013


Yu Sing
Rumah Terjangkau untuk Semua
KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Yu Sing

Oleh Cornelius Helmy

Puluhan juta rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Tak ada waktu dan biaya bagi mereka untuk memikirkan seperti apa hunian yang layak dan nyaman. Lewat proyek filantropis Papan untuk Semua, Prima Rusdi, Mandy Marahimin, dan Yu Sing bersama biro arsitek Akanoma Bandung coba mengubahnya. Rumah berlantai dua dengan konstruksi kayu milik Uay, tukang ojek asal Dago Giri, Bandung, yang baru selesai dibangun membuat perasaan Yu Sing bercampur aduk. Pada satu sisi, ia terharu sekaligus bangga melihat Uay bersama istri dan anaknya bisa hidup lebih layak.

Namun, di sisi lain, ia kembali diingatkan, masih banyak orang Indonesia yang tak punya pilihan. Mereka terpaksa tinggal di rumah reyot karena keterbatasan dana.

Perasaan campur aduk itulah yang memantapkan Yu Sing menekuni proyek filantropis tersebut. Seperti rumah Uay, tujuan mereka adalah membangun rumah yang layak huni dengan dasar arsitektur yang baik. Keterbatasan dana untuk itu berusaha dipenuhi lewat sumbangan masyarakat melalui internet.

”Kami tengah membantu pembangunan rumah milik keluarga Supartono, warga Padalarang, Bandung Barat. Dananya sekitar Rp 30 juta, semoga bisa terlaksana dengan baik,” kata Yu Sing.

Yu Sing bercerita, dia sempat stres serta merasa terjebak rutinitas tugas dan perkuliahan saat menjadi mahasiswa Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Bandung (ITB), beberapa tahun lalu.

Kekhawatirannya memuncak ketika ia menyadari rutinitas itu bisa berujung hanya demi memuaskan masyarakat berkantong tebal. Padahal, sejak awal dia yakin arsitektur ada untuk semua kalangan.

Baru tahun 2008 atau sembilan tahun setelah lulus perguruan tinggi, jawaban pertanyaannya itu mulai tampak. Bermula dari membangun rumahnya di Pharmindo, Cimahi, ia bereksperimen membangun rumah murah dengan perawatan minim.

Lantai rumah seluas sekitar 100 meter persegi hanya disemen dan menggunakan lantai pecahan marmer sisa pabrik. Untuk memudahkan perawatan, kusen jendela menggunakan aluminium. Pintu pun dipasang tanpa kusen. Sementara tangga beton dilapisi kayu pinus bekas peti kemas. Pelat beton itu dibiarkan telanjang tanpa proses akhir. Hanya bagian dinding tertentu yang dicat.

”Untuk luas bangunan 1 meter persegi dibutuhkan biaya Rp 1.500.000. Hasilnya memuaskan walau masih banyak kekurangan ketimbang tinggal di rumah yang sudah disediakan begitu saja oleh pengembang,” katanya.

Pengalaman bahagia itu, menurut Yu Sing, ingin dibagikan dan membawanya pada banyak kerja dengan penerapan pola serupa. Mayoritas desain rumah berbiaya murah, tetapi berkualitas.

Sampai pada 2009 ada penerbit yang tertarik membukukan delapan desain rumah yang pernah dibuatnya. Buku itu berjudul Mimpi Rumah Murah. Biaya pembangunan untuk desain rumah karya Yu Sing itu sebesar Rp 50 juta-Rp 250 juta per unit. Tak lama setelah diterbitkan, setidaknya 40 orang minta dibuatkan desain rumah seperti itu.

Kewalahan dengan permintaan tersebut, Yu Sing lalu meminta bantuan dari rekan arsitek lain yang peduli pada masalah yang sama. Ternyata cukup banyak arsitek yang sejalan dengan pemikirannya. Namun, itu tak berarti semuanya berjalan mulus.

Yu Sing pernah dianggap menyebabkan desain arsitektur tak lagi eksklusif. Biaya murah pembangunan rumah pun berisiko dianggap sebagai desain murahan.

Bahkan, dia sempat berpikir ulang, apakah pilihannya ini bisa digunakan untuk membiayai kehidupan keluarga. Alasannya, ia hanya mendapat penghasilan 3 persen untuk bangunan yang dibuat dengan biaya di bawah Rp 200 juta.

”Namun saya yakin, tujuan baik, jika dijalankan dengan serius akan menghasilkan akhir yang baik juga,” kata pengagum Romo Mangun, pemuka agama sekaligus tokoh arsitek Indonesia itu.

Berciri khas

Karya Romo Mangun, bagi Yu Sing, menjadi semangat setia di jalur ini. Rumah Uay yang menghabiskan dana pembangunan Rp 27 juta, misalnya, dibangun di atas umpak batu dengan konstruksi kayu.

Hal sama diterapkan pada bangunan Gedung Pusat Pelayanan Akademik Universitas Negeri Makassar yang bernilai miliaran rupiah. Ia memasukkan konsep perahu pinisi dan filosofi sulapa eppa dalam bangunan tinggi di Indonesia yang mengadaptasi fasade hiperbolic paraboloid.

”Karakter lokal juga diterapkan di balai ajar berbahan bambu di Desa Tegal Arum, dekat Candi Borobudur. Tempat ini yang dikerjakan dalam gerakan merajut bambu bersama banyak teman arsitek, dosen, dan mahasiswa,” katanya.

Menyebarkan virus

Menemukan satu per satu jawaban dari kegelisahannya tak membuat Yu Sing berpuas diri. Ia berharap bisa menyebarkan virus yang sama kepada rekan sejawat.

Penekanan untuk berpihak pada kebutuhan hunian masyarakat Indonesia menjadi yang utama. Sekitar 96 juta warga menggantungkan hidup pada jaminan kesehatan masyarakat. Artinya, 40 persen warga masih hidup seadanya. Mereka kesulitan mendapatkan akses kebutuhan dasar atas hunian yang sehat dan nyaman.

”Arsitek punya tanggung jawab besar menjawab tantangan ini. Asal mau serius dan berkomitmen, banyak arsitek bisa melakukannya,” katanya.

Yu Sing • Lahir: Bandung, 5 Juli 1976 • Istri: Jane Tanggalung (34) • Anak: Arga Kaleb Prabhaswara (5) • Pendidikan:- SDK 3 BPK Bandung, lulus 1988- SMPK 5 BPK Bandung, 1991- SMAK 1 BPK Bandung, 1994- Jurusan Arsitektur Institut - Teknologi Bandung, 1999

http://cetak.kompas.com/read/2013/05/22/02411262/rumah.terjangkau.untuk.semua