Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph.D
Anggota Tim Visi Indonesia 2033
(Materi Press Release Tim Visi Indonesia 2033 tanggal 20 April 2011 di Jakarta, www.visi2033.or.id )
.
Praktek penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan di tanah air masih menunjukkan wajah permukiman dan kota-kota yang suram dan penuh dengan ketidakadilan. Lingkungan permukiman dan perkotaan di tanah air bisa dikatakan sebagai anti-poor bahkan anti-urban, artinya bertentangan dengan pola hidup urban (kota) yang sesungguhnya. Padahal dalam konteks Indonesia yang masih banyak warganya yang tergolong miskin, seharusnya ada keberpihakan negara yang didasari oleh tujuan untuk menciptakan kota yang pro-poor dan berbudaya serta rumah layak untuk seluruh rakyat.
.
Salah satu potret kota yang anti-urban adalah wajah perumahan bersusun untuk golongan masyarakat bawah. Rumah-rumah susun sederhana (Rusuna) tidak terawat dan berubah menjadi kumuh adalah pemandangan nyata di kota-kota metropolitan tanah air. Pada gilirannya, rumah-rumah susun yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia, sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Inggris dan Flats di Amerika Serikat, akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen yang menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan bangsa ini.
.
.
Beragam Masalah Tanpa Akar Masalah
.
Berdasarkan analisis media, banyak masalah yang dijumpai dalam pembangunan rumah susun, khususnya rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Di antara masalah yang sering diungkapkan adalah tidak dihuninya hingga ratusan menara rumah susun, baik di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, maupun di daerah lainnya. Padahal anggaran yang dikeluarkan negara semakin besar dan semakin banyak menara yang terus dibangun.
.
Beberapa masalah pada dasarnya bersumber dari sisi pasokan maupun kebutuhan. Dari sisi pasokan di antaranya adalah kendala penyediaan infrastruktur, utilitas dan fasilitas. Banyak menara rumah susun yang tetap dibangun tanpa dukungan utilitas listrik dan prasarana air bersih. Menara-menara hunian tersebut semakin tidak layak huni karena tidak dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, pendidikan maupun fasilitas ekonomi seperti pasar tradisional.
.
Sedangkan masalah yang muncul dari sisi kebutuhan adalah dikatakan sulitnya mengajak masyarakat berpendapatan rendah dan warga permukiman kumuh yang umumnya tergolong miskin untuk mau menghuni unit-unit rumah susun. Masyarakat miskin juga sering mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun.
.
Kalau kita perhatikan identifikasi masalah yang sering diungkapkan pihak pemerintah tersebut, bukankah sangat logis kalau warga sasaran tidak berkenan pindah dan menetap di rumah susun tersebut? Hal ini karena unit-unit, blok-blok, maupun lingkungan permukiman yang disediakan semuanya memang tidak layak huni dan tidak sesuai dengan pola kehidupan mereka. Oleh karena itu tidak mengherankan jika lingkungan blok-blok rusunawa tidak kunjung tumbuh menjadi permukiman yang berkelanjutan.
.
Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, ditengarai pula sebagai masalah. Pemerintah pusat selalu mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya tetap dijalankan sendiri oleh pemerintah nasional. Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda kesulitan melepas tanah miliknya yang terbatas itu untuk pembangunan rumah susun yang membutuhkan tanah yang luas sekali.
.
Menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Muaranya, serah terima Rusunawa dari Pempus ke Pemda selalu bermasalah dalam penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), baik secara prosedur maupun tertib administrasi. Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik dan tidak berkembang menjadi aset negara dan aset publik yang seharusnya terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota. Rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
.
Setelah kurang mendapat dukungan tanah dari pemerintah daerah, pengadaan paket-paket gedung rumah susun mencari lokasinya yang lain di lahan-lahan milik perguruan tinggi, pesantren, tentara dan polisi. Kelompok sasaran yang sudah ada, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor pendorong untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah salah sasaran karena bagaimanapun mahasiswa dan prajurit bukanlah kelompok prioritas sasaran sektor perumahan rakyat.
.
Masalah pembangunan rusunawa tidak berhenti sampai di sini. Pemerintah pusat selalu menimpakan masalah kepada Pemda, PLN, PDAM dan warga masyarakat sendiri. Pemda dinilai kurang mendukung, baik dalam alokasi anggaran, penyediaan tanah, kelengkapan utilitas, subsidi pemeliharaan fasilitas, maupun dalam upaya mengajak warga MBR. Jika demikian, apakah logis beragam masalah rusunawa ini adalah kesalahan pihak Pemda, PDAM, PLN dan warga masyarakat tersebut? Di berbagai negara yang telah maju penyediaan perumahannya, tidak ada dijumpai kemampuan pemerintah daerah yang melebihi kemampuan pemerintah pusat dalam urusan perumahan.
.
.
Akar Masalah
.
Menghadapi beragam pernak-pernik masalah seputar pengadaan rumah susun ini kita dihadapkan pada situasi yang semakin kompleks. Apakah artinya kondisi dari masalah-masalah pembangunan rusuna yang berbelit ini? Banyak pihak dengan berbagai pandangannya angkat bicara dengan mengatakan pernak-pernik masalah teknis yang telah disebutkan di atas. Akhirnya upaya mencari pemecahan masalahnya kemudian menjadi tidak berarah dan terkesan tambal sulam karena tidak menyentuh akar masalahnya.
.
Kita tidak bisa membiarkan masalah ini terkatung-katung terus karena urbanisasi yang tinggi seiring pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di daerah perkotaan perlu terus didukung oleh berbagai kebijakan pembangunan terpadu. Ini sebenarnya bukan masalah teknis teknologis dan bukan pula masalah produksi rumah secara kuantitatif.
.
Praktek penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan yang ada sekarang masih menunjukkan terjadinya fragmentasi kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah telah terperangkap di dalam sistem perumahan komersial dengan terlalu kuatnya peran pemerintah memfasilitasi pasar properti. Pemerintah juga terjebak dalam ritual tahunan penyediaan paket-paket proyek.
.
Sebenarnya masalah yang lebih mendasar lagi adalah lemahnya arah kebijakan dan pilihan instrumen serta pendekatan pengadaan perumahan dan pengelolaan perkotaan di tanah air. Masalah sistem penyediaan perumahan adalah absennya sistem perumahan publik (public housing delivery system) yang didukung sistem perumahan komunitas (community housing) di tanah air, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
.
.
Lembaga dan Sistem Penyediaan Perumahan Umum
.
Di bawah payung arah kebijakan perumahan rakyat (papan) di dalam GBHN, pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an dilakukan oleh Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan perumahan. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung dikembangkan, dan Perumnas tidak pernah diberi peran sebagai sentral moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga kini tetap diadakan dalam skema proyek konstruksi. Akhirnya muncullah berbagai masalah seperti di atas.
.
Untuk itu, pengadaan rumah susun perlu dikembalikan kepada tujuan semula, yaitu pengembangan moda perumahan umum. Karena rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menyalahkan penghuni karena belum membudayanya tinggal di rumah bersusun. Melalui seleksi penghuni yang terencana baik maka penghuni rumah susun yang terpilih adalah mereka yang sudah siap menempati rumah bersusun. Kemandirian perumahan umum bertumpu pada akumulasi aset milik publik yang dibangun dan dikelola secara terencana dan berkelanjutan.
.
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beragam masalah rumah susun sederhana muncul akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan dan absennya moda perumahan publik. Moda perumahan umumlah yang perlu dikembangkan, dan bukan masalah rumah susunnya! Artinya, bukan membenahi segala masalah yang muncul sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek konstruksi rumah susun.
.
.
Visi ke Depan Pembangunan Perumahan dan Perkotaan
.
Pembangunan perumahan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kota dan pengelolaannya. Komitmen menyediakan rumah layak huni bagi seluruh rakyat seiring sejalan dengan komitmen mengelola urbanisasi yang berkelanjutan. Urusan perumahan (kota) dan pengelolaan kota adalah dua hal yang sangat kompleks, sehingga perlu dikelola dengan sangat seksama dan objektif, terlepas dari campurtangan kepentingan birokrasi rente maupun politik praktis.
.
Namun justru di sinilah permasalahan yang dihadapi Indonesia, yaitu arah kebijakan, pola pengelolaan kota-kota dan mekanisme sistem penyediaan perumahan rakyat yang masih sangat lemah. Dalam kondisi backlog perumahan dan permukiman kumuh perkotaan yang semakin meluas, jika dibanding dengan kota-kota lain di negara-negara Asia Pasific, kota-kota Indonesia sebenarnya masih jauh dari berkelanjutan, masih jauh dari nyaman dan tingkat pelayanan publik yang masih sangat rendah.
.
Di dalam prakteknya, justru banyak proyek pembangunan menara rusunawa yang dibangun tidak terencana sejalan dengan rencana kota yang baik. Banyak rumah susun dibangun di lahan kecil-kecil dan terpencar-pencar. Tidak sedikit rumah susun dibangun hanya setengah twin-blok atau satu menara saja di lahan 3000 sd 5000 m2. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengadaan tanah dan konstruksi yang tidak terpadu di dalam suatu sistem penyediaan perumahan publik. Akibatnya pembangunan menara-menara rusunawa cenderung merusak daya dukung prasarana dan fasilitas kota.
.
Demikian pula dengan pola yang hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya kepada para pengembang swasta, akhirnya menghasilkan tata wilayah dan perkotaan yang terpencar (scattered) dan menjalar-jalar (sprawl). Pembangunan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota baru untuk golongan menengah atas menghasilkan tata wilayah perkotaan yang semakin tidak berkelanjutan, yang ditandai kemacetan, kekumuhan, dan banjir.
.
Belum adanya sikap dan arah kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk mendukung revitalisasi Perumnas sebagai NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) sebagaimana sudah diusulkan oleh Perumnas sendiri, menyebabkan masalah perumahan dan perkotaan semakin kehilangan arah. Padahal, sebagaimana di negara-negara yang sudah maju urusan perumahannya (HDB di Singapura, UR di Jepang dan KNHC di Korea), revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraan public housing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat.
.
Belum adanya solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga-keluarga miskin di kolong jembatan (permukiman kumuh ilegal) sebagaimana diinstruksikan Bapak Presiden beberapa waktu lalu ditandai dengan belum adanya kebijakan yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system, dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ilegal. Padahal sudah ada contoh di negara-negara lain seperti CODI di Thailand, URA di Singapura dan HCA di Inggris.
.
Semua kenyataan ini menunjukkan langkah-langkah pemerintah yang belum didukung oleh arah kebijakan yang efektif, sistem kelembagaan, maupun kerangka regulasi yang komprehensif dan terpadu dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyat dan mencapai kota-kota yang bebas permukiman kumuh.
.
Untuk itu kiranya perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pembangunan perumahan dan perkotaan secara menyeluruh. Di dalam perumusan Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP No. 1/2011) tahun lalu sebenarnya sudah muncul usulan agar undang-undang ini memadukan kedua hal ini. Namun karena kelemahan koordinasi untuk merumuskan bersama-sama, maka akhirnya urusan perumahan gagal dipadukan dengan urusan perkotaan di dalam UUPKP No. 1 Tahun 2011.
.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150177594842833