23.4.11

cukilan kisah kampung kota

12 maret 2011, kampung jagalan surakarta.
Dahulu kala, tidak ada warga yg menganggur. Semua warga dapat bagian memotong daging. Ada yg dapat bagian potong kaki sapi. Ada yang dapat bagian kulit sapi. Dll. Karena itu kampung dinamakan kampung jagalan. Tempat jagal. Tapi itu dulu. Sekarang banyak warga kerja serabutan atau mengganggur. Sejak jagal dimonopoli, tidak lagi dibagi-bagi pada warga. Mungkin akibat dunia yang makin modern, makin praktis, makin efisien. Ternyata juga membawa dampak negatif.

kampung boro, tetangganya, dikenal luas di seantero surakarta. Dahulu kampung boro termasuk dalam kelompok GAZ...gerombolan anak setan, kumpulan lima kampung paling garang di surakarta.

Selain warga kampung, tidak ada pendatang yang berani berkeliaran di kampung boro. Warganya biasa mabuk2an dan berkelahi. Adu jotos jadi candu. Kalau tidak seminggu sekali adu jotos, seperti ada yang kurang. Kalau tidak cari gara-gara dengan kampung lain, maka cari masalah antar sesama warga kampung boro.
Di masa2 itu, tidak ada taksi atau becak yang mau membawa atau menurunkan penumpang ke kampung boro. Di polsek jebres, kampung boro berwarna merah dan selalu paling atas.

Tapi sudah 5 tahun terakhir ini, tidak pernah lagi ada perkelahian. Itu sudah rekor terlama. Di polsek jebres, warna kampung boro sudah hijau. Pendatang sudah bisa blusukan kampung tanpa diganggu. Perubahan total terjadi sejak pak simon, pak lawu dkk warga asli kampung, melatih warganya dengan berbagai kegiatan seni dan festival kampung. Salah satunya musik bambu.
Pak lawu ini gurunya wiji tukul, seniman puisi yang hilang di era soeharto lengser, sampai hari ini. Dahulu, tiap 17 agustusan, setelah wiji tukul baca puisi, pastilah datang gerombolan polisi menangkapnya dan membubarkan acara. Beberapa teman2 pak lawu sempat melarikan diri ke jerman. Pak lawu sendiri lari ke kampung2 yang jauh. Menyusun kekuatan yang baru lagi.

Sekarang pak lawu sudah kembali ke kampung jagalan. Salah satu kegiatannya mengasuh cucu. Tapi di usianya yang tidak muda lagi, semangatnya tidak pernah padam. Lewat melatih wayang pada anak-anak, pak lawu justru terinspirasi. Anak-anak yang berjiwa bebas membuat wayang yang bebas dari pakem, misalnya menggunakan ranting2 bambu dan materi lain. Pak lawu, yang justru 'diajarkan' anak-anak, membuat wayang eling. Eling : waras. Tapi juga 'ling' : lingkungan. Pak lawu menyebut dirinya penjaga lingkungan. Salah satu tokoh wayang eling yang dibuatnya itu berupa celeng/babi. Materinya ranting bambu dan bubur kertas bekas. Kisahnya celeng itu binatang yang kurang diterima di masyarakat, katanya. Tapi celeng juga ciptaan sang pencipta. Suatu ketika hutan dirusak manusia, lalu celeng ganti merusak pertanian warga. Setelah pertanian dirusak, celeng menyerang rumah-rumah warga. Celeng dianggap binatang perusak. Padahal celeng hanya ingin cari makan saja. Salah satu tokoh wayang eling buatannya, diminta anak sd kelas 3 yang sudah mendalang, dan menyukai wayang pak lawu. Wayang eling yang dibuat dari bahan-bahan ramah lingkungan ini sudah rusak katanya. Karena pernah dipakai pertunjukan di dalam air pada salah satu acara resepsi pernikahan yang memang diadakan di dalam air.

Kampung kota menyimpan begitu banyak kisah kehidupan yang inspiratif.
Salam kampung lestari,
yu sing

1 komentar:

Jasmine Zulkarnain mengatakan...

Perubahan besar yang berawal dari satu orang 'waras'.
:)

Saia benar-benar ingin bertemu Pak Lawu,mas !