Oleh: Yang Suwan ;
Ciputat
- Lembata Augustus 2004.
Bila saya
jujur,sesungguhnya hidup berpindah-pindah mempunyai romantika tersendiri. Konon
“darah” berpetualang dan mengembara datang
dari pihak ayah. Di keluarga bapak pergi mengembara, bertapa,
meninggalkan keluarga selama berbulan-bulan adalah keluhan dan cerita klasik
para istri yang menikahi pria-pria dari keluarga ini. Hanya saja selama ini
mengembara di keluarga ayah identik dengan laki-laki.
- Ya tentu saja,
bukankah ia putri bapaknya ?
Komentar seperti ini
sebetulnya tidak terlalu menyenangkan :
putri tertua sang bapak petualang . Seakan diri ini tidak beridentitas dan pekerjaan
yang dijalankan tidaklah penting.
Tapi memang tidak bisa
disangkal, saya besar dengan foto-foto ayah. Gambar-gambar dari segala penjuru
Nusantara tertempel rapi di album tua dan tebal. Ayah adalah seorang fotografer
dan tokoh kepanduan (pramuka) dijamannya.
Pekerjaan sebagai
antropolog dan peneliti membawa orang berkelana ke pelosok dan kampung terpencil.
Hidup berbulan dan berminggu di lapangan mengasyikan dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan berumah dimana-mana taklah merupakan siksaan. Malah
sebaliknya; asyik dan tak pernah membosankan .
Sehingga nasihat-nasihat
agar berumah sendiri dan tidak berpindah-pindah rumah kontrakan sebenarnya
tidaklah perlu di ulang-ulang di hadapan diriku. Namun rupanya argumenku
tidaklah meyakinkan orang-orang tercinta , bahwa aku baik-baik saja dan berumah
identik dengan berakar itu tidaklah mesti merupakan prioritas semua orang. Fakta
yang rupanya sulit dicerna.
- Relaxlah. Tidak
betah? Ya ditinggalkan, seperti kau pindah ke rumah kontrak baru saja . Mengapa
begitu banyak pikiran sih ? -
Untuk kesekian kalinya
sahabatku menasihati , bahwa menetap sekarang ini sudah saatnya.
- Ya tapi……dimana ? -
- Ada-ada saja, di
Jakarta tentu saja . Dimana lagi …?
Tak berani kukatakan,pada
sahabatku ini, bahwa tawaran menetap diberbagai tempat kerja telah berulang
kali ditawarkan dengan janji-janji yang
menggiurkan dan setiap kali membuat aku merasa kikuk dan bersalah.(‘Terima
kasih, tapi….belum waktunya barangkali. Maaf…..”)
Beberapa tahun lalu
saya membantu sahabat satu ini mendirikan rumahnya dan pengalaman ini telah
menyemen persahabatan kita dengan lebih erat lagi.Dan rupanya pengalaman
“berumah” yang positif di rumahnya yang ramah lingkungan, diakrabi benda budaya yang
mengesankan itu , meyakinkan si sahabat untuk membujuk melakukan hal yang sama
.
Apa yang baik untuk
dirinya tentu baik pula untuk sahabat karibnya bukan ?
Rumah yang akhirnya dibangun
di pinggiran Jakarta mengikuti keberadaan pohon-pohon tua yang telah ada di
lahan rumah seperti kelapa, rambutan,
durian, kecapi dll. Dengan demikian rumah terlihat seakan bukan rumah baru tapi
sepertinya memang dari dahulu sudah ada di tempat dengan keberadaan pohon-pohon
dewasa rimbun dan tinggi.Fakta ini ternyata juga telah menolong cadangan air
tanah kami,pada waktu tetangga kiri kanan di setiap kemarau panjang berteriak
kekurangan air .
Pada waktu rumah
akhirnya selesai dan mulai dihuni, jujur
saja ada semacam kegamangan menempatinya mengingat era pindah-pindahan di Jakarta dengan segala romantikanya usailah
sudah.
Mungkin pada waktu
itulah mulai disadari oleh seisi rumah,bahwa
gaya hidup di rumah baru mau tidak mau perlu direvisi dibanding masa lalu .Permasalahan-permasalahan
yang sebelumnya tidak dikenal haruslah dihadapi dan dicarikan solusinya . Dua
tahun pertama di rumah baru , saya - mungkin juga anggota rumah lainnya - bertanya-tanya pada diri sendiri: apakah ini
suatu keputusan yang benar ???
Sahabat dan teman yang
berkunjung sangat menolong dalam memberikan saran-saran dan membuat saya betah. Ong,sahabat tersetia,
membagi pengalaman dan nasihat , hidup di rumahnya yang serupa . Hadiah pertama yang dibawakan teman
dan sahabat kerumah adalah kelambu dan
kentongan kayu tradisional , menyadari bahwa rumah baru berada di tempat langganan
byar-pet pinggiran kota. Kemudian tamu yang paling setia berkunjung di rumah buka-bukaan adalah –
tentu saja - nyamuk.
Pembenah rumah dan
praktisi lingkungan paling handal adalah Pak So’eb, tukang kayu setia yang dari
waktu ke waktu bekerja di rumah sejak jaman kontrakan dahulu. Lahir sebagai
anak tertua seorang dukun terkenal di Banten, ialah yang membimbing seisi
rumah menyiasati hidup selaras
alam. Ia adalah pria yang paling sering
memberikan kejutan mini berwawasan maxi pada seisi rumah : tanaman dari bantaran sungai tempatnya
tinggal , kerang pembersih paso, sepotong kayu istimewa agar selamat dan betah
di rumah baru . Semua hadiahnya khas , penuh mengandung makna.
Seiring dengan
memudarnya bau semen dan cat di rumah ,
invasi nyamuk mulai menggerogoti rumah. Problema ini diatasi dengan memasang
kelambu di semua tempat tidur dan sofa, memakai dupa wangi , membakar daun-daun kering di sore hari ,
membeli raket pembunuh nyamuk dan bersahabat dengan semua cecak dan toke
penghuni rumah.
Memasang kawat nyamuk
hampir tidak mungkin , berhubung konstruksi bangunan yang buka-bukaan dan
membiarkan sebanyak mungkin udara bergerak dan masuk.
Strategi non-obat
semprot ini tidak dianut oleh seluruh
rumah. Keluarga pembantu yang merasa sudah menjadi warga kota metropolitan tidak melihat mengapa balik ke jaman kelambu
. Di hidup mereka konsumsi Baygon dan obat sejenis di rumah ini kemudian
drastis membumbung…
Kebun yang cukup luas
untuk ukuran Jakarta pinggiran dan kekurangan SDM disiasati dengan mencuri
kearifan para peladang di pedalaman. Sebagian kebun dibiarkan berkembang
sesukanya; sedangkan di daerah dekat rumah tanaman pot menjadi primadona.
Ternyata faktor ini menolong sekali dalam menyaring polusi udara dan terik
matahari.
Di kebun, tanaman
favorit adalah tanaman yang tidak usah diurus
dan memperbanyak diri sendiri
seperti umbi-umbian, rempah-rempah, berbagai jenis pakis tanah dan pohon,
anggrek liar,tanaman obat, dan pohon/semak dengan biji-bijian yang diminati burung. Semua tanaman dan pohon yang rentan
penyakit mati sendiri dan yang kuat bertahan,karena kebun tidak mengenal
pestisida.
Agar kebun tetap
asli,sesedikit mungkin pohon ditebang
.Keladi liar berubah peran menjadi tanaman hias berdaun lebar . Demikian juga
dengan semua rumpun pisang dan pohon buah
yang ada. Batang pohon yang gemuk dan bercabang diusahakan menjadi kebun vertikal dengan menempeli bermacam pakis dan anggrek liar pada
batangnya.
Tanaman dan pohon
tambahan pada umumnya didapat dari kebun teman, mengambil di pinggir jalan
,atau dibawa dari daerah atau hutan , bila sedang dinas di lapangan. Matoa dari Papua, Nimba dari
Sumbawa, bibit bunga dari Manggarai , Pakis pohon dari kaki G.Rinjani , palm
dari Ujung Kulon dan Kadaka dari Tomohon
bertahap menjadi penghuni kebun.
Setelah masa
penyesuaian diri maka tanaman yang paling bertahan diusahakan untuk diperbanyak
dan berfungsi sebagai benang merah dari
kebun. Ternyata pakis kadaka Tomohon menjadi tanaman raksasa yang menakjubkan
dan memberi kebun semacam “jungle look” yang mengundang decak kagum para tamu dan kemudian menjadi pemberi arah “Leitmotif”
perkembangan kebun selanjutnya.
Semak dan pohon yang
berbunga harum; kemuning , jahe hutan, arum dalu dll. , ditanam dekat rumah
khususnya teras , dan jalanan setapak dikebun . Di malam hari sehabis hujan,
bau harum bunga membuat kebun terasa akrab dan bercerita.
Seiring waktu banyak
burung bertandang ke kebun. Praktis semua burung peliharaan tetangga yang kabur
kemudian bersarang di kebun,karena makanan selalu tersedia : biji dan buah
pohon atau sisa makanan anjing di teras. Penghuni tetap kebun
adalah burung gereja, perkutut, ketilang, pipit, kolibri lokal, dan
berjenis burung kicau. Pernah juga parkit, betet, dan kakatua berkunjung ke
rumah kami. Puyuh diawal waktu masih berkeliaran di kebun,yang kemudian
hengkang karena tidak tenteram di kejar-kejar anjing.
Gudang makanan terbaik
bagi keluarga musang di tanah tetangga sebelah maupun di kebun sendiri adalah
pohon-pohon buah yang tua dan tinggi .
Di malam hari papa mama musang dengan semua anak-anaknya asyik memanen
buah-buah yang masak.Bau pandan
menyengat kemudian menyebar kemana-mana dan membuat semua penghuni rumah
berkaki empat menyalak-nyalak jengkel dan cemburu dan seisi rumah pusing karena
kurang tidur.
Keberadaan musang ini
membawa permasalahan tersendiri dalam rumah. Atap harus sering diperbaiki,karena
tergeser oleh lalu lalangnya keluarga musang.
Kemudian diambil
strategi pengalihan kebun belakang tempat bermain musang sebagai resort yang
dijaga oleh pasangan bebek dan angsa yang galak dan rakus.
Bebek dan angsa
kemudian juga menjadi pembersih hama kebun yaitu bekicot dan keong-keong mini
yang diambil dari kolam. Tapi bebek dan angsa
juga mencukur tandas halaman belakang dari rumput dan tanaman-tanaman
lainnya…..
Penghuni kebun terbaru
adalah tiga ekor bajing lucu ceria berpita milik tetangga sebelah. Dibeli
sebagai pet untuk anak-anak , bajing tetangga kemudian membuat pilihannya
sendiri: pindah ke ke kebun dengan sumber makanan terbanyak dan termudah .
Melompat-lompat
seharian diantara dahan pohon dan melahap panen buah yang ada, Mr. Bajing kemudian
menemukan jalan pintas menuju kebun belakang dengan meniti balok-balok rumah,
lewat ruang kerja, menyambung keatap bangunan belakang untuk kemudian lepas
landas melompat ke pohon rambutan salah satu tujuan utama. Setelah rumah
menjadi jalan pintas para bajing tamu tidak diundang ini, para tikus di rumah heran
bin ajaib hengkang entah kemana.
Elemen air dan angin
seyogyanya menjadi pendamping akrab sebuah
rumah. Tapi karena masih bingung membangun kolam permanen , maka dibuat
sejumlah solusi sementara. Kolam ikan improvisasi pertama dibuat dengan memanfaatkan buis beton yang
tidak terpakai . Air kemudian mengundang banyak jenis katak untuk datang dan
bermukim di kebun .Lalu seisi rumah belajar , keberadaan katak - selain salak
anjing nada tinggi - adalah barometer handal dalam memantau ada tidaknya ular
di kebun di masa-masa awal rumah berdiri
.
Malam hari katak
memberikan konser gratis sebagai lagu nina bobo . Pada waktu itu terpikir alangkah baiknya bila ditambah dengan nada bas
kodok batu besar dengan suaranya yang khas , berat dan kencang
.
( “Mengapa membeli
hanya seekor ibu ? Dagingnya ‘kan terlalu sedikit untuk dimakan ?”)
Di hari ketiga si kodok hitam legam ditemukan di kebun
tercabik-cabik mengenaskan digigit Pascal, si anjing perayu dan pencuri hati
yang berdarah pemburu.
Kolam-kolam mini
berikutnya adalah gentong dan paso air , disusul dengan bak plastik
industri di tahap akhir. Mereka tersebar
dikebun dan teras dekat rumah . Kilau air mengundang langit berkaca dan di malam hari bulan tergapai di
tempayan .
Seiring dengan
tumbuhnya pulau-pulau daun teratai di
wadah air dan paso , burung-burung
berdatangan untuk mandi dan bercengkerama di kolam-kolam mini ini . Pemandangan yang tidak pernah membosankan.
Di kemarau yang
panjang dan gersang penghuni-penghuni pohon aneka bentuk dan warna memberanikan
diri untuk turun. Mereka kemudian tidak saja
menemukan sumber air di kolam mini tapi juga berkenalan dengan penghuni
rumah yang memperhatikan mereka secara seksama dengan mata hampir tidak berkedip.
Di siang hari rumah terasa sejuk oleh cahaya
yang terfilter oleh rimbunnya pohon dan atap menjorok. Kesejukan di ruang dalam
ditunjang oleh suasana temaram teduh. Ubin batu alam dan ubin terra cotta bakar
, mengundang orang untuk bertelanjang kaki . Anjing peliharaan menemukan
tempat-tempat favorit mereka untuk tidur
siang dan keluarga toke bermukim dibelakang lukisan ,membantu para penghuni
rumah dalam perburuan nyamuk nakal.
Dengan adanya
kenyamanan baik bagi manusia maupun binatang, beberapa keterbatasan perlu
ditolerir. Lantai dibiarkan telanjang tanpa karpet dan tidaklah seapik dan
sebersih seperti yang biasa terlihat di sinetron dan iklan TV, tapi memberi
kesempatan untuk hidup dan bernapas bagi semua penghuni rumah : manusia maupun
binatang.
Dengan teman dan
sahabat setelah pindah rumah , hubungan mengalami suatu proses perubahan pula .
Yang mau bersusah payah melawan kemacetan untuk sampai kesini biasanya adalah sahabat
dengan anak-anak dan teman serta rekan kerja dari luar negeri.
Anak-anak kota
metropolitan menyebut “hutan”dan “kebun
binatang” bila dibawa berkunjung ke rumah, karena bisa bermain-main dengan
binatang peliharaan yang ada dan menjelajah kebun .
Benar memprihatinkan.
Teman dari luar negeri
menghargai kebun yang sengaja dibiarkan
semrawut teratur dan menyebutnya “ a natural garden” atau kadang lebih elegan “
your secret garden” . Serangga dan nyamuk untuk mereka bukanlah masalah besar dengan
repellent ampuh yang dibawa, dan biasanya mereka ingin seharian duduk dan
bekerja di teras, di courtyard-courtyard di dalam dan juga makan
di luar atau – mengapa tidak?- sekalian
saja menginap.
Melihat perkembangan
ini kemudian sebuah amben dari kayu bekas dibuat menjorok keluar di teras
atas oleh pak So’eb .Tempat ini
berfungsi baik sebagai tempat tidur di luar maupun untuk makan lesehan.
Duduk di amben ini terasa seperti kita duduk diatas pohon . Kolong dimanfaatkan
untuk kandang binatang, mencuri model yang dilihat di pedalaman Kalimantan pada
waktu berumah dengan keluarga Iban di rumah panjang.
Komentar keluarga yang datang dan teman-teman beragam ,
setelah melihat rumah dan kebun yang dinilai mereka berbeda dengan rumah konvensional
yang dihuni sendiri. Dari memuji setinggi langit , memanfaatkan sebagai ajang
pendidikan untuk si anak sampai langsung bertanya apakah kiranya kehabisan
dana dan apakah rumah ini benar sudah
selesai ? Apakah kebunnya tidak perlu dibersihkan dan dibabat secara teratur ?
Kemudian keluar
serentetan nasihat-nasihat tentu saja dengan maksud baik , dan berawal dengan kata “ SEMESTINYA”, yang sering
membuat sipemilik rumah tersenyum sayu dan memandang dengan pandang menerawang
jauh menembus si tamu.
Pada waktu salah seorang sahabat menjadi cacat, dibuatlah
teras yang berbatasan dengan kebun dan
ramah kursi roda . Teras perpanjangan atau “teras bawah” sebagian beratap fiber jernih
dan setengah bernaung dibawah
rimbunnya pohon matoa.
Kemudian dipasang lantai
batako yang rongganya diisi
dengan semen agar lebih kuat dan diatur dengan motif gedek. Sebuah solusi
alternative karena tidak mampu membeli batu candi yang aduhai itu. Lantai batako a la batu padas candi ditanam diatas pasir agar bisa bernafas dan menjadi hijau dengan tumbuhnya
lumut dan menyebarkan hawa sejuk
sepanjang hari disamping menjadi ruang tamu luar berlangit terbuka.
Bila Anda bertanya apa
manfaatnya hidup selaras alam ?
Mungkin jawab
pertama adalah dari segi kesehatan dan
kwalitas hidup dan oh… begitu banyak
hal-hal lain.
Saya menjadi lebih
kuat baik fisik maupun psychis . Tidak lekas masuk angin , menghirup udara yang
lebih bersih, dan kerja fisik di kebun meningkatkan daya tahan tubuh . Juga
saya merasa menjadi lebih peka dalam membaca tanda-tanda alam , mengenali suara
dan nada binatang maupun lainnya dan lebih siap mental bila sesuatu terjadi.
Hijau ini memberikan
ketenangan yang dibutuhkan setelah kerja keras di lapangan dan dalam periode
menulis laporan di rumah . Kebun ini juga memberikan kekuatan untuk bersiap
kembali dan balik ke lapangan.
Dan harganya ?
Mengurangnya kunjungan-kunjungan yang berhubungan dengan
budaya seperti mengunjungi perpustakaan, pergi ke festival film, mendengarkan
konser, melihat pameran-pameran dan
event budaya - yang semuanya terjadi di
kota dan terlalu jauh – adalah bagian dari harga yang harus dibayar.
Berkurang pergi ke
mall, berarti mengurangi belanja yang tidak perlu , Kemudian setiap kunjungan
ke kota adalah suatu perencanaan yang matang untuk pemanfaatan waktu yang
effektif dan seefisien mungkin karena kepekaan yang lebih tinggi terhadap polusi yang ada.
Melindungi satwa
peliharaan (anjing, kucing, burung, bebek dan angsa) berarti menjadi langganan setia dari pak
dokter hewan. Vaksin secara teratur , mengobati peliharaan yang terluka
disengat atau digigit satwa lepas adalah secuil kewajiban dari hidup di rumah
ini.
Memelihara hubungan
dengan teman dan rekan sebagian beralih menjadi ‘bertemu di tengah” artinya
bertemu di tempat-tempat umum, di café dan saya pribadi merasa terkadang mengurangi
kwalitas hubungan yang terjalin. Alternatif kemudian diambil dengan memanfaatkan
media teknologi canggih.
Lap-top menjelma
menjadi sahabat setia yang menghubungkan kerinduan akan berita
dan surat dari jauh ,dan mengajak teman dan rekan di Jakarta dan manca negara
mengintip hidup di rumah ini maupun di lapangan.Fakta yang beberapa tahun lalu
tidak terbayangkan , sebagai manusia pengguna setia mesin tik usang….
Tanpa sadar kebun dan
rumah mengajak untuk berakar, yang sebelumnya tidak sempat terjadi karena
terlalu asyik bepergian . Memang masih ada “rumah” dimana-mana sesuai kemana
diri dibawa dalam bekerja , tapi hijau
ini kemudian menjadi pilihan dan mengajak merenung dan mengendap serta
memberikan kekuatan untuk terus
melangkah , berjuang dan tidak loyo.
Rasanya berada - namun
tidak berada - di suatu kota metropolitan yang sesak, berpolusi tinggi dan
kurang ramah pada sesama membutuhkan keberanian tapi bila disiasati bisa juga disulap menjadi pilihan.
Tentang info teknis rumah:
Dibangun kira2 thn. 2000 (atau akhir 1990,
lupa) oleh Adhi Mursyid (Atelier Enam) (maksudnya adhi moersid). Membangunnya
kira2 1 tahun, gara2 sering ditinggal dll. Rumah ini boleh dikatakan rumah
kedua dimana saya terlibat. Yg. pertama rumahnya Onghokham (sejarawan
almarhum), sahabat dekat saya. Rumah Ong dibangun oleh Hendro Sumardjan, saya
sebenarnya minta dia yg. buat, tapi waktu itu pak Hendro ada proyek Kakap di
Kemayoran. Baik Ong maupun saya banyak pakai bahan bekas, kita waktu itu
belanja sama2 ke Jawa pesisir. Malah saya menulis artikel tentang masa itu di buku "Onze Ong"
(=orbituari untuknya).