Proposal perbaikan ini mencakup fungsi auditorium, ruang inovasi & cross culture, perpustakaan, & ruang sejarah wika yang multifungsi. Keistimewaan lahan yang dapat melihat cukup jelas 3 gunung di sekitarnya: gede, pangrango, salak diekspresikan ke dalam bangunan seperti gunung dengan 3 puncak di atasnya. Denah bangunan sendiri menyerupai sosok semar salah 1 tokoh punokawan.
berikut ini lampiran tulisan di majalah homediary edisi 1 tentang karya ini.
MENGEJAWANTAH
FILOSOFI PUNOKAWAN
Simbol,
bentuk, dan komposisi bangunan ini selalu ingin menyiratkan makna agar nantinya
bisa mewadahi pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Teks: Writer House | Fotografi
: Bambang Purwanto | Arsitek
: Studio
Akanoma | Lokasi : Bogor
Wikasatrian adalah nama yang dipilih untuk memaknai keseluruhan
aktivitas yang diwadahi oleh bangunan yang desainnya melalui sayembara desain.
Bukan sekedar bangunan dengan ruang-ruang besar
seperti kelas untuk mewadahi kegiatan pelatihan atau seminar disini, tetapi
setiap fase ruang dalam bangunan dan ruang luarnya menyuguhkan satu sensasi
ruang yang berbeda dan menggugah rasa.
Filosofi itu berangkat dari
proses desain yang ingin menghadirkan karakter Indonesia yang sejujurnya tanpa
harus menjadi artifisial yang secara acak mengambil elemen atau motif tradisional. Sayembara desain
bangunan ini dimenangkan oleh Studio Akanoma dengan arsitek Yu sing yang ingin sebuah bangunan yang artistik
dan juga fungsional tanpa harus terjebak dalam tatanan dekoratif semata.
Sejak awal konsep kearifan Indonesia dipahami
dalam tiga unsur utama, religiusitas, pengharkatan, dan pelestarian. Wijaya
Karya sebagai klien yang menggagas bangunan ini tertarik dengan elaborasi konsep
Indonesia dan kreativitas yang dibuat oleh Yu
Sing dan tim Studio Akanoma. Kearifan karakter Indonesia justru kemudian ditemukan pada wayang Punakawan yang juga
memiliki kedalaman filosofi dalam
tingkah lakunya.
pengalaman itulah yang diemban bangunan yang dari
jauh terlihat seperti sebuah bukit.
Wikasatrian ini secara lokasi dikelilingi oleh
beberapa gunung seperti Gede, Pangrango, Gunung Salak, dan Gunung Geulies,
sehingga konsep ring of fire memposisikan bangunan ini menjadi salah satu
elemen alam yang terwujud dari lapisan-lapisan yang tidak memiliki kesamaan
bentuk dan tidak sejajar sebagai representasi dari kreativitas yang tidak
terbatas. Dari sinilah nama beberapa bangunanmenggunakan kata ‘giri’. Lokasinya di Desa Pasir Angin, Gadog, Ciawi, Jawa barat ini memberikan keleluasaan pemandangan dan luas lahan yang cukup lapang untuk mewujudkan ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan secara aktif untuk
menempa pribadi. Secara fasilitas, terdapat enam wujud rupa bangun yaitu Giri
Sasana, Giri Budaya, Giri Cipta, Giri Pustaka, Wana Arena, dan Giri Boga.
Selain bentuk gunung, filosofi
semar juga secara mendalam diulik dalam proses desain. Ruang-ruang yang
terwujud berupaya untuk tetap sederhana, matang, tidak menonjolkan diri, tetapi
membangkitkan sensasi ruang yang megah dan anggun di dalamnya. Dekorasi bergaya
Jawa menghiasi beberapa detail dan sudut ruang untuk menghadirkan sebuah
apresiasi terhadap filosofi yang dimiliki oleh Semar.
Secara sekuens, arsitek
berupaya menghadirkan sensasi unik yang bisa dirasakan oleh pengunjung dan
pengguna bangunan di setiap bagian ruang serta memiliki pemandangan tersendiri yang menyegarkan. Hamparan halaman
dengan rumput di sekitarnya tidak menghilangkan pohon-pohon peneduh yang juga
dimanfaatkan untuk kegiatan pelatihan ruang luar atau outbond.
padalarang, 3 februari 2014
yu sing
2 komentar:
ala ala BIG gitu nih om.. oke sip
keren ini konsepnya. smoga sukses terus dgn desain2nya.
monggo mampir
http://littlewawan.blogspot.com/2014/05/arsitektur-berkelanjutan-bangunan-hijau.html
Posting Komentar