20.5.11

Tampilan Arsitektur

Oleh: josef prijotomo

Tampilan: apa dan siapa dia?

Tergantung pada sisi tinjau manakah penjawab pertanyaan itu, di situ pulalah kebenaran dan kesalahan, persetujuan dan penolakan atas jawabannya diletakkan. Bagi pihak yang masih menempatkan ruang sebagai panglima dalam arsitektur, misalnya, maka tampilan bukanlah sebuah ihwal yang perlu perhatian yang setara dan sepadan dengan perhatian terhadap ruang arsitektur. Mereka yang mengikuti dogma ‘form follows function’ mengatakan bahwa bentuk muncul sebagai akibat dari pananganan atas ruang dan fungsi. Dalam lingkungan penganut pandangan itu, bahkan tidak jarang ada kesan bahwa bentuk itu disinonimkan dengan ruang. Lihat saja Glass House dari Philip Johnson atau Tugendhat House dari Mies van der Rohe.

Tampilan arsitektur dapat dipastikan sebagai kehadiran arsitektur sebagai obyek yang nyata, yang dengan langsung tertangkap oleh indra penglihatan. Wajah atau rupa dari arsitektur dapat dimunculkan sebagai sinonim dari tampilan. Sebuah suguhan berupa foto berwarna dari sebuah arsitektur dapat dikemukakan sebagai contoh dari tampilan. Apa saja yang dapat dikatakan dari gambar berwarna itu adalah apa yang menjadi kelengkapan dari tampilan arsitektur itu.

Mitos Tampilan

Oleh karena adanya pro dan kontra atas kehadiran tampilan arsitektur itu, maka setiap hal yang oleh yang satu diyakini sebagai benar akan mendapat tanggapan berawanan, mendapatkan kontra dari yang lain. Keadaan inilah yang membuat saya menempatkan segenap pendapat tentang tampilan arsitektur sebagai mitos, sebagai kebenaran yang sekaligus ketidak-benaran. Apa sajakah itu?

Kesatu, seperti telah dikatakan di depan, tampilan itu adalah hasil dari olah ruang dan fungsi (di sini, tidak dibedakan fungsi sebagai function dan fungsi sebagai use).

Kedua, tampilan memberitahukan, dengan bahasa rupa, peruntukan atau penggunaan dari arsitektur, dan karena itu menjadi kurang terpuji kalau tampilannya seperti lazimnya rumah tetapi penggunaannya adalah untuk kantor.

Ketiga, tampilan memberitahukan kekinian dari saat atau jaman atau masa perancangan atau pembangunan dari arsitektur.

Keempat, tampilan memberitahukan status, gengsi, gaya hidup dan cita dari pemilik.

Kelima, tampilan memberitahukan langgam atau gaya arsitektural yang digunakan

Keenam, tampilan memberitahukan orientasi geografik atau etnik seperti mengglobal, melokal

Ketujuh, tampilan menyentuh rasa dan akal sehingga menumbuhkan kesan tertantu

Kedelapan, tampilan adalah iklan yang berusaha untuk memikat calon pembeli

Kesembilan, gubahan artistik atau estetik, gubahan yang menumbuhkan pesona pada penikmatnya

Kesepuluh, tampilan adalah pembawa ciri arsitektural arsitek

Tidak disangkal bahwa senarai di atas dapat diperpanjang lagi, tetapi satu hal yang mestinya kita mengakui bahwa ihwal tampilan arsitektur bukan sebuah pekerjaan arsitektural yang bisa disepelekan atau dinomor-duakan. Dapat dipastikan bahwa tidak ada satu arsitekpun juga yang tidak melakukan pengolahan tampilan bangunan, termasuk arsitek yang paling lantang berkeyakinan bahwa arsitektur adalah ruang.

Nalar Mengindonesia

Penolakan

Tampilan yang mengindonesia menjadi polemik yang belum berakhir di lingkungan arsitek-arsitek Indonesia sendiri. Orang bisa saja bertanya-tanya mengapa arsitek Indonesia ada yang tidak sependapat dengan penampilan arsitektur yang mengindonesia. Oleh karena hingga saat ini belum pernah ada forum resmi yang mampu menampung segenap pandangan yang kontra tentang tampilan yang mengindonesia, senarai berikut ini sepenuhnya disampaikan sebagai hasil dari perbincangan dengan para arsitek ataupun dari pernyataan para arsitek itu dalam berbagai forum.

Pertama, era melokal sudah usai, kini adalah era mengglobal. Apa yang saat ini berlabel global, itlah yang sebaiknya ditangani

Kedua, persaingan dengan arsitek manca yang sudah bisa berarsitektur di Indonesia menantang arsitek Indonesia untuk dapat menghadirkan tampilan yang setanding dengan buatan arsitek manca

Ketiga, tidak ada jaminan bahwa para klien akan menyetujui usulan tampilan yang mengindoesia; namun bisa lebih dijamin akan adanya persetujuan dari klien kalau tampilannya ‘mengglobal’

Keempat, sulit ditemukan contoh tampilan mengindonesia yang ‘sukses’ atau setanding dengan tampilan yang ‘mengglobal

Kelima, bagaimanakan tampilan yang menindonesia itu, mengingat yang ada di Indonesia adalah Aceh, Minang, Jawa, Bali, Toraja, Atoni, Wamena dan arsitektur-arsitektur anakbangsa Nusantara

Keenam, sungguh sulit mengindonesia karena belum ada buku acuan

Ketujuh, arsitektur yang Minang, Jawa, Bali atau Toraja itu yang mana ya?

Juga, senarai di atas dapat diperpanjang lagi. Yang pasti, sikap kontra dalam menghadirkan tampilan yang mengIndonesia senyatanya adalah yang dominan. Pertanyaannya, apakah yang dominan itu adalah yang benar?

Latar Penolakan

Dari demikian banyak perbincangan dan dengan mencermati senarai penolakan di atas, dan dilengkapi dengan memperhatikan materi ajar di sekolah arsitektur di Indonesia, ada dugaan kuat mengapa penolakan untuk mengindonesia itu cukup kuat, dominan dan berposisi ‘di atas angin’.

Pertama, serbuan suguhan pemikiran dan karya arsitektur global telah tak terbendung. Mereka ini pula yang kemudian dijadikan indikator bagi keglobalan.

Kedua, gempuran suguhan yang mengglobal itu lebih dipusatkan pada yang bercorak new modern (istilah dari Charles Jencks), yakni corak arsitektur yang mengutamakan gubahan geometrik yang non-referential maupun non-figurative. Bahwa ada corak yang seperti dihasilkan oleh Robert Venturi, Michael Graves, Terry Farrell dan mereka-mereka yang memunculkan kembali keklasikan barat dengan transformasi yang mengagumkan, nyaris tidak dikenal dan dikenalkan.

Ketiga, rendah dan miskinnya pengenalan dan pengetahuan para arsitek tentang arsitektur nusantara (asitektur tradisional). Guna mnyembunyikan hal itulah kemudian dimunculkan isyu tidak adanya rujukan dan buku acuan yang Nusantara/tradisional/Indonesia

Keempat, meski menyadari akan keadaan butir 3 itu, tidak banyak yang kemudian belajar sendiri.

Kelima, ada sekolah arsitektur yang tidak menempatkan arsitektur nusantara sebagai matakuliah wajib. Dari sekolah-sekolah yang menempatkan sebagai matakuliah wajib, sebagian terbesar mengisinya dengan antropologi arsitektur, dan oleh karena itu tidak ‘match’ dengan matakuliah arsitektur lainnya, terutama dengan matakuliah perancangan arsitektur.

Sebuah dugaan muncul, sebagai berikut: keakraban dengan yang manca sekaligus keterasingan dengan yang nusantara adalah latar penolakan untuk mengIndonesia. Dripada ketahuan bahwa sangat asing dengan yang nusantara, lebih baik bercakap lantang tentang yang ‘global’ dan ‘masa depan’, dan dengan ‘persaingan antar arsitek’.

Meniscayakan PengIndonesiaan

Tidak ada rancangan arsitektur yangbisa terwujud menjadi gedung bila tidak memiliki tampang atau tampilan. Tampilan yang bagaimanakah yang dihadirkan, sepenuhnya berada di tangan para arsiek perancang. Itu berarti bahwa hadirnya tampilan itu sepenuhnya bergantung pada mau dan tidaknya seorang arsitek untuk memilih tampilan yang ini dan tidak memakai tampilan yang itu. Ya, keMAUan, bukan kemampuan. Sesampai di sini, bukan mustahil bila segenap penolakan untuk mengIndonesia itu asalmuasalnya adalah urusan mau atau tidak mau, bukan mampu atau tidak mampu.

[1] Arsitektur nusantara itu bukan arsitektur yang mati, yang tidak berubah. Karena antropologi arsitektur cenderung mencari rampatan (generalisasi) dan keajegan (constancy), maka aspek pengkhasan (particularisation) serta keubahan (change, modification, transformation) menjadi tersisih. Padahal, semua arsitektur Nusantara mengalami pengkhasan dan pengubahan. Dengan kata lain, dalam ruang dan waktu kesilamannya, arsitektur nusantara senantiasa menyeseuaikan diri dengan ke-‘kini’-an di jamannya, Lihat saja percandian jawatimur yang demikian besar perbedaannya dari percandian jawa tengah. Lihat pula kraton yogya dan surakarta yang demikian banyak memunculkan elemen eropa dalam arsitektur jawa-nya.

[2] sikap mengunggulkan yang barat telah menutup peluang perkembangan arsitektur barat sebagai sebuah perkembangan atas arsitektur tradsional yunani-romawi. Mencermati dengan kritis John Summerson dalam bukunya A Classical Language of Architecture akan dapat dikenali bahwa sejarah barat itu adalah sejarah perkembangan arsitektur tradisional yunani-romawi, sebuah tradisi yang berarti menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu sambil tetap memegang keyunani-romawian di berbagai aspeknya.

[3] di sekolah-sekolah arsitektur di eropa dan amerika, sejarah arsitektur mereka hanya diisi dengan arsitektur tradisional yunani-romawi; tidak ada sekolah arsitektur yang mengajarkan arsitektur tradisional Indonesia. Mengapakah kita di Indonesia demikian terjajah oleh mereka sehingga mewajibkan sejarah tradisional yunani-romawi? Sekolah arsitekturdi Indonesia seakan buta dan tuli akan sikap dan tindakan revolusioner almarhum YB.Mangunwijaya dengan Wastu Ctra yang demikian monumental dan setara, seadan dan sejajar dengan buku Vitruvius (atau malah lebih unggul dari buku Vitruvius!)

[4] tidak sedikit klien yang memahami ihwal rupa dan tampilan arsitektur, dan oleh karena itu bisa saja klien tidak tahu bahwa tampilan yag disodorkan adalah tampilan yang Indonesia. Peluang yang bagus ini, sayangnya, tidak dimanfaatkan oleh arsitek Indonesia karena arsiek Indonesia sendiri tidak (mau) memahami rupa arsitektur Indonesia

[5] di antara para arsitek yang mau peduli dengan pengIndonesiaan, kebanyakan mengIndonesiakan arsitekturnya melalui nilai-nilai arsitekturalnya. Tindakan ini tidak keliru, tetapi tidak jitu. Sebab, nilai itu tidak terlihat, abstrak, dan kalau dibuat terlihat lalu muncul sebagai pola atau suguhan skematik. Sumbu vertikal dan horisontal dapat dengan sempurna menggambarkan nilai Indonesia, tatapi sekaligus juga dengan sempurna menggambarkan nilai yang bukan Indonesia. Kalau sudah demikian, keIndonesiaan lalu menjadi teramat sangat cair dan nyaris tak bena (signifikan).

Meniscayakan Tampilan yang mengIndonesia

Ada dua pilihan kesempatan menghadirkan tampilan yang mengindonesia yakni yang pertama menempatkan arsitektur nusantara sebagai preseden; dan yang kedua, mengkritisi kelompok purna modern (robert Venturi, Michael Graves dan yang lain)

Arsitektur nusantara sebagai preseden

<1> Percandian Jawa Tengah: menadikan bangunan kayu sebagai latar depan dan menempatkan arsitektur India sebagai latar belakang. Di sini, teknologi yang digunakan sepenuhnya India

<2> percandian jawa Timur merupakan transformasi prroporsi, peminimalan hiasan, mengedepankan geometri, dalam bandingannya dengan percandian jawa tengah

<3> kraton yogya dan surakarta mengkombinasikan tampilan, kombinasi tampilan eropa dengan tampilan jawa. Tampilan eropa diposisikan sebagai emphasis dan dengan demikian yang jawa masih dominan

<4> candi bentar dan kori ageng di arsitektur Bali, sangat bervariasi, baik dalam tampilan maupun dalam teknik

<5> transformasi morpologikal dari arsitektur berbangun kerucut di Nusatenggara Timur; juga dari arsitektur Sumba hingga arsitektur Juglo-Jawa. Variasi morpologikal antara arsitektur Toraja dengan arsitektur Toba.

<6> elaborasi yang eksageratif arsitektur Jawa-Jepara dalam sandingannya dengan arsitektur Jawa Mataraman

Arsitektur Purna modern sebagai rujukan (dalam hal menjadikan yang global sebagai acuan)

[1] geometri platonik sebagai latar belakang, tampang bangunan terhiasi oleh geometrisasi elemen arsitektur klasik

[2] ornamen dan dekorai yang tiga dimensional disuguhkan kembali sebagai rupa yang dua dimensional; dan sebaliknya

[3] eksagerasi ukuran dan proporsi dari elemen klasik

[4] tampang yang adalah sebuah bidang datar persegi, dikeping-keping menjadi tampang yang seakan terdiri dari demikian banyak lapisan bidang. Di sini warna klasik menjadi pendominasi tampilan

[5] penggantian (substitusi) patung dan dekorasi klasik dengan/oleh patung dan dekorasi masakini (Disney Headqurters dari Michael Graves)

[6] penggantian bahan dan warna atas elemen yang nyata-nyata klasik (Piazza d’Italia dari Charles Moore)

[7] mentransformasi tampang bangunan klasik menjadi tampang yang sepenuhnya geometri platonik, sehingga hanya dari sosoknya saja sudah dapat dikenali keklasikannya (Aldo Rossi, juga AT&T dari Philip Johnson yang merupakan gedung jangkung)

[8] berbagai teknik pertampangan yang disajikan oleh Venturi dalam Complexity and Contradiction in Architecture

[9] sosok bangunan dipertahankan dalam geometri platonik, dijadikan kanvas bagi penghadiran dekorasi, lukisan, ornamentasi yang sudah distilisasi menjadi sosok geometri, dihadirkan dengan memanfaatkan warna dan effek tumpang-tindih bidang.

keMAUan

Jagad adi busana, produk desain, seni lukis, seni tari maupun seni musik, serta jagad boga (kuliner) telah dengan tegap dan bangga mengkinikan yang Nusantara. Bahkan sudah tercium bau adanya semangat dan persaingan untuk semakin mengIndonesia dalam karya. Kemampuan ada dan keMAUan menyertainya, maka terwujudlah tampilan yang mengIndonesia, tampilan yang Nusantara mengkini. Sungguh akan sangat memalukan kalau di arsitektur justru semangat dan persaingan malu mengIndonesia yang tumbuh, bukan?

Jika kita MAU, tidak mustahil akan muncul tampang yang mengIndonesia.

Surabaya, 15 mei 2011 – embah.petungan@gmail.com

3 komentar:

Delta Perdana mengatakan...

Prof Josef Prijotomo saat ini sedang mengadakan rangkaian kuliah mandiri (diluar kurikulum kampus) tiap akhir pekan. Kuliah ini terbuka untuk umum, baik mahasiswa, akademisi, praktisi, dsb.

Ketika saya mengikuti kuliah akhir pekan beliau, saya kaget bukan kepalang. Apa yg saya dapatkan selama ini di bangku kuliah mengenai arsitektur nusantara itu seperti hanya kosong belaka. Masuk, dihapalkan, lulus lalu dilupakan. Tak pernah terkorelasi dengan perancangan yang saya dan mahasiswa lainnya lakukan.

Pak Josef membuka pikiran saya mengenai apa itu arsitektur Nusantara. Saya salut terhadap beliau. Pulang dari kelas, saya terkadang mengambil kertas dan pensil. Sekedar menelusuri kekayaan arsitektur Nusantara. Semoga suatu saat saya dapat membangun arsitektur seperti yang beliau impikan.

Unknown mengatakan...

Selera kita sudah terlatih dengan selera global. Saya sering menemui di lingkungan sekitar, baik itu dari kalangan arsitektur atau awam, menganggap aspek budaya sebagai suatu wujud fisik seperti ornamen atau artifak. Namun jarang yang memahami arsitektur nusantara sebagai substansi (saya lebih memilih kosakata 'arsitektur nusantara' daripada 'arsitektur indonesia' karena persamaan sejarah dan nilai-nilainya).

Jika kita hanya memahami arsitektur nusantara sebagai wujud fisik, kita tidak akan menemukan kesepakatan ber-arsitektur nusantara. Substansi arsitektur nusantara seperti tidak adanya hasrat keabadian, lahir karena kebutuhan hidup dan penghidupan; dikesampingkan untuk menolak menemukan arti arsitektur nusantara (atau lebih khususnya meng-Indonesia).

Sebagai analogi sederhana, tampilan fisik orang Indonesia berbeda-beda. Bahkan keturunan arab, cina, atau londo pun warga Indonesia juga. Tapi substansi bahasa, Bahasa Indonesia, yang menyatukan kita sebagai warga Indonesia, berkomunikasi antar sesama.

Mungkin suatu hari kita akan semakin menghargai arsitektur nusantara. Seperti Schoemaker, arsitek lulusan Delft yang konstruksinya sangat meng-Eropa (seperti Sociteit Concordia), menjelang akhir hayatnya mulai menghargai konstruksi tradisional Indonesia.

Hanya soal waktu.

Anonim mengatakan...

ijin copas yah pak.. :)