Rusun untuk warga kampung (kota).
Telah begitu banyak saya ikuti dan dengar.
Seminar. Ruang kuliah. Forum diskusi kelompok. Baik di kampus, komunitas, maupun kementerian.
"di banyak tempat dibangun wc umum. Agar warga tdk buang kotoran ke sungai, kali, atau sembarangan. Setelah dibangun..wc umum tidak dipakai. Banyak persoalan. Budaya. Perawatan. Dll."
Itu hal sangat sederhana. Buang kotoran dan air kencing. Tapi tidak bisa dianggap remeh. Pemberian ratusan juga buat warga bisa jadi sia2 hanya karena maksud baik tanpa diskusi dengan kelompok pemakai.
Bayangkanlah rumah susun. Warga kampung kota dengan ikatan sosial ekonomi budaya yang begitu kuat pada struktur kampungnya. Tiba2 dipindah gusur masuk unit2 rusun yang begitu saja. Rusun standar. Keterpaksaan tentu bisa membuat mereka bertahan. Tapi bila diajak diskusi..didengarkan..diajak mencari alternatif lain..tentu sangat berbeda.
Telah banyak keilmuan lahir tentang pembangunan partisipatif, perumahan vertikal seperti apa yang mungkin lebih cocok untuk warga kampung dilahirkan oleh banyak profesor. Berbagai akademisi dan praktisi dari berbagai negara pun kagum kalau mendengarnya. Konsultan sangat terkenal dunia pun bahkan mengeluarkan buku kampung vertikal dengan menyoroti kegagalan dan kemonotonan serangan menara2 seragam di berbagai negara asia yang miskin imajinasi keberagaman, fleksibilitas, dan ikatan sosial.
Namun. Sampai saat ini. Regulasi rusun masih sangat kuno. Tidak mampu dan belum ada regulasi yang memungkinkan kampung susun. Begitu pula maksud baik pemerintah sejak dulu. 1000 menara rusun yang kuno. Diseragamkan. Dianggap remeh. Diinstankan. Dibangun di mana2. Di kampus dunia pendidikan pun tidak terkecuali. Dana rusun untuk mahasiswa turun ke daerah. Ini dana pusat. Gambar dari pusat. Seragam. Tak peduli bentuk lahan. Tak peduli budaya lokal. Bangun rusun seragam.
Di kala banyak negara yang sudah terlanjur mengalami keseragaman lalu mulai mau perbaiki cari karakter kotanya masing2. Sudah terlambat. Tapi tetap berupaya. Pemerintah seolah menghianati dirinya sendiri. Menghianati nenek moyangnya sendiri. Yang manusia laut. Manusia kampung.
Hargailah kearifan lokal. Hargailah keberagaman. Hargailah kebinekaan. Bineka tunggal ika dihianati.
Diseragamkan jadi rusun yang seolah menyelesaikan semua persoalan dan tidak ada solusi bisa lebih baik dari itu. Menghianati bahwa selama ini kota2 itu bisa berjalan karena jasa orang2 kampung kota dengan berbagai peran profesi informal yang dibutuhkan banyak orang yang bekerja di ruang2 formal.
Terbayang2 bencana massal menyongsong. Bukan belum terjadi. Ada rusun bagus jaman dulu di jakarta sudah ada yang kosong dan gagal. Padahal fisiknya bagus. Terbayang sesederhana kamar mandi saja warga tidak mau pakai bila ada alternatif dan gagal komunikasi. Bagaimana nanti dengan rusun2 itu? Apakah hidup manusia sesederhana ruang kotak? Melihatnya saja bangunan2 besar tinggi seragam begitu sudah bencana bagi keindahan kota. Bagaimana bagi kehidupan di dalamnya?
15 april 2016,
yu sing.
arsitek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar